Rabu, 06 Juni 2012

Asian Crisis - and the Alternatives


Krisis yang melanda Asia pada pertengahan 1997 telah menjadi pukulan bagi negara-negara di kawasan tersebut. Pasalnya kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara yang dikenal sebagai Asian Miracle menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat selama awal 1990an, yang ditandai dengan rendahnya inflasi, tingkat tabungan yang tinggi serta neraca fiskal yang seimbang, namun secara tiba-tiba mengalami krisis yang sangat parah. Dalam kurun waktu yang singkat krisis utang telah berubah menjadi krisis pembangunan yang mengakibatkan menurunnya produksi dan standar hidup, peningkatan pengangguran, serta devaluasi yang berdampak pada naiknya harga barang impor.[1]


Robert Wade dalam The Asian Debt and Development Crisis of 1997 - ? : Causes and Consequences, menekankan ada dua faktor utama penyebab terjadinya krisis Asia yaitu, the death throes of Asian state capitalism dan faktor kedua adalah investor pull out/debt deflation in a sound but under regulated system.


Faktor pertama menjelaskan bahwa intervensi negara yang terlalu besar dalam pasar finansial menjadi penyakit mematikan bagi perekonomian negara itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Alan Greenspan, The Chairman of the US Federal Reserve,[2]
The current crisis is likely to accelerate the dismantling in many Asian countries of the remnants of a system with large elements of government directed investment, in which finance played a key role in carrying out the state objectives. Such a system inevitably has led to the investment excesses and errors to which all similar endeavors seem prone...
Government-directed production, financed with directed bank loan, cannot readily adjust to the continously changing patterns of market demand for domestically consumed goods or exports. Gluts and shortages are inevitable...
Peran pemerintah yang terlalu signifikan dianggap hanya akan menciptakan monopoli yang berlebihan atas sumber-sumber produksi. Hal ini kemudian diperparah dengan tidak adanya good governance sehingga peluang terjadinya krisis menjadi sangat lebar. Fenomena crony capitalism memberikan keleluasaan bagi penguasa untuk melakukan berbagai cara (termasuk korupsi) untuk mempertahankan posisi politik mereka. Selain itu besarnya intervensi pemerintah juga menciptakan moral hazard dimana peran pemerintah yang terlalu dominan dalam perbaikan ekonomi akan berimplikasi pada sikap pengusaha yang cenderung tidak ‘berhati-hati’ dalam proses ekonomi. Akibatnya guncangan pada perekonomian negara menjadi sangat mungkin terjadi.


Bertentangan dengan faktor sebelumnya, faktor penyebab krisis Asia yang kedua lebih menekankan pada kelemahan rezim keuangan internasional –IMF dan World Bank-   dalam mengatur jalannya perekonomian global. Joseph Stiglitz menjelaskan bahwa,[3]
Recent developments, however, underscore the challenges presented by a world of mobile capital even for countries with strong economic fundamental. The rapid growth and large influx of foreign investment created economic  strain. In addition heavy foreign investment combined with weak financial regulation to allow lenders in many southeast Asian countries to rapidly expand credit, often to risky borrowers, making the financial system more vulnerable.
Inadequate oversight, not over-regulation caused these problem. Consequently, our emphasis should not be on deregulation, but on finding the right regulatory regime to reestablish stability and confidence.
Kritik yang sangat jelas dialamatkan Stiglitz pada IMF dalam mengelola keuangan global. Hal ini tentunya dengan tidak mengabaikan fakta bahwa pada kenyataannya resep yang diberikan oleh IMF melalui washington consensus nya juga membawa negara pada krisis. Dalam banyak kasus IMF telah menunjukkan kegagalannya. Apa yang terjadi di Amerika Latin, pada beberapa dekade sebelum krisis bergulir ke Asia, telah manjadi contoh konkret terkait hal tersebut. IMF dengan berbagai anjuran ekonominya untuk menanggulangi krisis Amerika Latin pada 1980 juga telah berhasil mengarahkan sebagain besar negara di kawasan itu pada model liberalisasi sebesar-besarnya. Implikasinya pemerintah yang dianggap otoriter kemudian direduksi perannya sehingga pasar dan modal asing memegang kontrol atas jalannya perekonomian. Namun sayanganya model tersebut justru membawa negara-negara Amerika Latin jatuh pada krisis yang jauh lebih parah.


Penulis sendiri melihat bahwa sistem liberalisasi, tidak dapat dipungkiri, memang sarat akan kelemahan terutama jika dikembangkan di negara dunia ketiga. Negara-negara tidak berangkat dari kondisi ekonomi yang sama. Kosekuensinya dominasi negara-negara yang telah ‘mapan’ akan meletakkan negara-negara di Asia yang notabene masih vulnerable pada posisi yang dirugikan. Hal ini sangat jelas terlihat pada FDI dan SAPs yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga keuangan global tidak serta-merta membawa negara pada pembanguanan yang lebih baik. Bahkan faktanya bantuan-bantuan keuangan tersebut justru menimbulkan ketergantungan yang akan lebih menyengsarakan rakyat. Dengan segala bentuk mekanismenya, liberalisasi perdagangan justru semakin memperparah kondisi ekonomi, kesenjangan dan kemiskinan.


Dalam proses pembangunan, maka sepatutnya negara berkembang memikirkan model alternatif dengan tidak hanya terpaku pada ‘uluran tangan’ negara-negara lain atau lembaga keuangan internasional. Pemerintah harus menciptakan model pembangunan yang mandiri. Hal ini guna menciptakan perkonomian yang adil dimana kebijakan ekonomi-politik sepenuhnya didasarnya atas penciptaan kesejahteraan rakyat.
Pasar merupakan ruang yang sangat kompleks namun hanya akan memberikan keuntungan bagi mereka yang memiliki kekuatan modal. Persaingan di dalamnya dapat menjadi sangat ‘brutal’ jika tidak dikontrol. Untuk itu penting untuk kembali memberikan pemerintah porsi yang signifikan dalam mengendalikan jalannya mekanisme pasar. Pengendalian oleh pemerintah ini tentunya diharapkan dapat membuka peluang bagi pengusaha kecil serta kembali meletakkan kewajiban utama mereka atas pengentasan kemiskinan dan penjaminan kesejahteraan rakyat.


Memang akan sulit bagi negara berkembang untuk lepas dari cengkraman liberalisme pasar. Namun hal ini tentunya tidak menjadi alasan bagi negara berkembang untuk terus mengantungkan hidup mereka pada bantuan asing. Perubahan secara bertahap dapat dilakukan dengan melakukan restrukturisasi model pembangunan. Mungkin tidak mudah melakukan perubahan secara revolusioner seperti apa yang dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin, karena memang tidak mudah menemukan pemimpin se-populis Chaves dan kawan-kawan pink tide-nya. Namun hal ini dapat menjadi dorongan bagi negara lain bahwa IMF bukannya satu-satunya penolong dalam mengatasi masalah keuangan negara. Penolakan terhadap bantuan IMF seperti yang dilakukan oleh Malaysia untuk bangkit dari krisis juga telah membuktikan hal tersebut.


Upaya konkret yang menjadi pilihan adalah bagaimana memperkuat kerjasama regional. Di satu sisi kerjasama regional dapat menjadi wadah untuk lebih mengintensifkan perdagangan antar negara se-kawasan dan di sisi lain dapat menciptakan proteksi dari sistem pasar global yang dalam banyak hal dapat sangat merugikan bagi negara berkembang. Selain itu penting untuk kembali mengedepankan industri subtitusi impor. Telah banyak pengalaman negara yang menunjukkan bahwa produksi dengan orientasi ekspor hanya menambah beban ketergantungan. Untuk itu prioritas yang harus dilakukan adalah memperkuat produksi dan pasar domestik. Ketergantungan atas barang-barang impor harus dapat diminimalkan sehingga keuntungan tidak lagi mengalir pada pemodal asing. Adapun dalam pengelolaan keuangan kawasan sendiri, inisiasi dana talangan bersama dalam Chiang Mai Initiative, yang menurut penulis terinspirasi dari pembentukan Bank of The South, telah menunjukkan signal positif dalam penanganan krisis dan bagi pertumbuhan ekonomi kawasan pada umumnya.


Perbaikan dalam model pembangunan tentunya juga harus diiringi dengan sistem pemerintahan yang baik. Good governance dan supremasi hukum menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pembangunan negara. Selajan dengan hal itu, maka masyarakat harus mempunyai akses yang besar dalam setiap kebijakan pemerintah. Pelibatan setiap elemen masyarakat terkait kebijakan yang menyangkut kesejahteraan mereka harus dilakukan demi memberikan peluang bagi masyarakat atas pengawasan implementasi kebijakan tersebut oleh pemerintah. Dengan demikian demkorasi selayaknya tidak hanya dimaknai sebagai ritual prosedural melainkan lebih pada penekanan substansial dimana kepentingan rakyat adalah determinan.


[1] Robert Wade, The Asian Debt and Development Crisis pf 1997 - ? : Causes and Consequences, World Development Vol. 26, No. 8, hal 1535.
[2] Ibid., hal 1536.
[3] Ibid., hal, 1538.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar