Munculnya regionalisme telah menghadirkan banyak perdebatan terkait perdagangan internasional. Banyak kalangan yang menilai bahwa regionalisme telah melanggar prinsip-prinsip pasar bebas yang tentunya akan menimbulkan ketimpangan ekonomi. Namun di sisi lain bagi negara-negara yang tergabung dalam organisasi regional, regionalisme merupakan jalan keluar untuk dapar terhindar dari persaingan pasar dunia yang tidak seimbang. Globalisasi telah menciptakan perdagangan bebas dimana negara-negara tidak berangkat dari level ekonomi yang tidak sama. Adanya kecenderungan pasar didominasi oleh negara negara maju seperti AS dan Jepang mengakibatkan negara-negara berkembang sulit untuk ikut serta dan cenderung tereksploitasi dalam kompetisi pasar. Oleh karena itu untuk memperkuat posisi mereka maka negara-negara dalam satu kawasan membentuk kerjasama regional yang kemudian menerapkan aturan-aturan perdagangan yang dikenal dengan PTA.
Preferential Trade Area atau PTA yang merupakan kebijakan untuk mengurangi hambatan perdagangan bagi negara anggota. Arvind Panagaria mendifinisikan PTA sebagai a union between two or more countries in which goods produced within the union are subject to lower barriers than the goods produced outside the union. Dengan adanya PTA ini arus perdagangan di dalam kawasan akan menjadi semakin intensif sehingga tentunya akan secara langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang dapat dilihat dari produksi dapat mencapai skala ekonomis, transformasi teknologi dan teknik produksi serta peningkatan investasi. Negara-negara dalam kawasan khususnya negara berkembang, jika pandai mengambil peluang, akan sangat terbantu dengan adanya proteksi dan stimulasi ekonomi yang diterapkan dalam organisasi regional tersebut. Indonesia misalnya, dengan adanya PTA dalam kawasan ASEAN, akan sangat diuntungkan ketika melakukan impor mesin-mesin teknologi dari Malaysia dan Singapura atau bahkan ketika meingimpor beras dari Thailand.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya regionalisme menyediakan banyak keuntungan bagi negara-negara yang tergabung di dalamnya. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan volume pasar regional, lalu lintas barang, teknologi dan jasa yang semakin lancar hingga proteksi dari kemungkinan fluktuasi pasar internasional yang tdak menguntungkan. Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana PTA ini akan memberikan dampak bagi negara-negara di luar kawasan. Does it serve as a bulding block or stumbling block to global free trade? Dengan ‘membatasi’ arus barang hanya dalam kawasannya saja bukankah sama saja dengan menutup kesempatan bagi sebagian basar negara di dunia.
Pemberlakuan PTA ini sendiri pada dasarnya dianggap telah melanggar prinsip MFN yang telah diatur oleh WTO. Melalui MFN, WTO telah menetapkan bahwa perdagangan haruslah adil tanpa adanya diskriminasi atas tarif yang dikenakan pada setiap negara. Dalam menciptakan perdagangan bebas, WTO menetapkan aturan terkait PTA demi mencegah terjadinya ketimpangan ekonomi. Namun pada kenyatannya, PTA dalam kerjasama regional telah memberikan keistimewaan-keistimewaan yang sangat menguntungkan bagi negara anggotanya di satu sisi, namun juga dapat merugikan negara outsiders di sisi lain.
Isu ‘building block or stumbling block’ terkait regionelisme telah semakin mengemuka, terutama setelah kebijakan moneter tunggal yang diterapkan oleh Uni Eropa. Untuk itu, agar dapat lebih memahami mengenai efek yang ditimbulkan oleh regionalisme perlu untuk melihat dua konsep utama dalam analisis Vinerian yaitu trade creating dan trade diverting.
Dalam regionalisme trade creating merujuk pada kondisi ketika PTA membentuk suatu pasar internal yang besar dimana setiap anggota bisa berspealisasi pada produk-produk berdasarkan faktor-faktor keunggulan yang dimilikinya. Jika prinsip ini dilakukan oleh semua negara anggota dan semua sumber daya produksi yang ada digunakan secara full employment (proses produksi mencapai titik optimal atau skala ekonomis), maka akan tercipta perdagangan dalam kawasan tersebut . Misalnya dalam ASEAN, untuk mencapai skala ekonomis, Indonesia berspesialisasi pada karet sementara Malaysia pada minyak sawit. Dengan adanya PTA maka akan lebih menguntungkan bagi Indonesia untuk mengimpor minyak sawit dari Malaysia dari pada memproduksi sendiri, demikian pula sebaliknya, Malaysia akan mengimpor karet dari Indonesia. Hal ini tentunya akan menciptakan perdagangan yang saling menguntungkan antara kedua negara anggota. Disamping itu, Trade Creating ini juga akan memberikan keuntungan bagi negara outsiders, ketika spesialisasi produksi juga melibatkan impor produk yang lebih murah tidak hanya dari negara-negara anggota saja. Sehingga walaupun masih diberlakukan hambatan tarif, perdagangan masih dapat berlangsung secara global.
Selanjutnya istilah trade diverting mengacu pada kondisi ketika perdagangan dalam blok-blok ekonomi akan memberikan kerugian tidak hanya bagi negara outisders namun juga kepada negara-negara anggota blok regional itu sendiri. Hal dikarenakan negara-negara anggota yang saling meningkatkan volume perdagangan akibat rendahnya biaya impor, namun pada kenyataannya negara-negara outsider menyediakan barang yang sama dengan harga yang jauh lebih murah. Misalnya dalam hal impor teknologi ramah lingkungan. Karena tergabung dalam ASEAN dan menerapkan PTA, maka Indonesia lebih memilih untuk mengimpor produk tersebut dari Malaysia. Namun pada kenyatannya Australia yang tidak terikat perjanjian regional dengan Indonesia menyediakan produk yang sama dengan harga yang jauh lebih murah. Akibatnya perdagangan menjadi tidak efisien dan tentunya justru akan menimbulkan kerugian baik bagi Indonesia maupun Australia.
Dengan menggunakan analisis Vinerian ini kita dapat melihat melihat bahwa regionalisme itu sendiri memang mamiliki kelemahan-kelemahan yang seringkali diabaikan oleh banyak negara. Namun pada dasarnya potensi kerugian akibat kelemahan tersebut dapat minimalisir. Negara-negara yang tergabung dalam suatu organisasi regional tentunya harus lebih “bijak” dalam memilih mitra dagang dan tidak hanya terpaku pada negara-negara se-regionnya saja. Sekalipun telah menerapkan PTA di regionalnya, tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara outsider juga memiliki kapasitas untuk menyediakan produk dengan keunggulannya sendiri dan tentunya dengan harga yang lebih murah. Sehingga dengan demikian, walaupun hambatan tarif antar negara regional telah dihilangkan namun penciptaan perdagangan (trade creating) dalam skala global masih dapat terus ditingkatkan. Di sisi lain negara-negara outsider juga harus pandai dalam melihat peluang perdagangan dalam suatu regional. Dengan melakukan spesialisasi dan pengembangan kualitas produk akan meningkatkan nilai jual dan tentunya akan membuka peluang untuk masuk ke dalam pasar regioinal.
Kondisi ini juga kemudian membuka ruang untuk dapat lebih mensinkronkan regionalisme dengan prinsip-prinsip MFN. Negara-negara dalam regional tertentu memang telah menghilangkan hambatan tarif, akan tetapi mereka juga dapat tetap melakukan perdagangan dengan negara outsiders sehingga kecenderungan untuk menutup peluang dan membatasi perdagangan bebas dengan sendirinya dapat dihindarkan. Prinsip-prinsip MFN dapat tetap dijaga dengan tidak memberikan diskriminasi ataupun perlakukan istimewa terhadap produk dari negara manapun. Sehingga walaupun blok-blok regional terbentuk namun perdagangan global dapat tetap berjalan seimbang. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa, dalam sebuah regionalisme ekonomi trade creating harus lebih tingkatkan dari pada trade diverting agar perdagangan tersebut dapat dikatakan “MFNable.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar