Rabu, 06 Juni 2012

Asian Crisis - and the Alternatives


Krisis yang melanda Asia pada pertengahan 1997 telah menjadi pukulan bagi negara-negara di kawasan tersebut. Pasalnya kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara yang dikenal sebagai Asian Miracle menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat selama awal 1990an, yang ditandai dengan rendahnya inflasi, tingkat tabungan yang tinggi serta neraca fiskal yang seimbang, namun secara tiba-tiba mengalami krisis yang sangat parah. Dalam kurun waktu yang singkat krisis utang telah berubah menjadi krisis pembangunan yang mengakibatkan menurunnya produksi dan standar hidup, peningkatan pengangguran, serta devaluasi yang berdampak pada naiknya harga barang impor.[1]


Robert Wade dalam The Asian Debt and Development Crisis of 1997 - ? : Causes and Consequences, menekankan ada dua faktor utama penyebab terjadinya krisis Asia yaitu, the death throes of Asian state capitalism dan faktor kedua adalah investor pull out/debt deflation in a sound but under regulated system.


Faktor pertama menjelaskan bahwa intervensi negara yang terlalu besar dalam pasar finansial menjadi penyakit mematikan bagi perekonomian negara itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Alan Greenspan, The Chairman of the US Federal Reserve,[2]
The current crisis is likely to accelerate the dismantling in many Asian countries of the remnants of a system with large elements of government directed investment, in which finance played a key role in carrying out the state objectives. Such a system inevitably has led to the investment excesses and errors to which all similar endeavors seem prone...
Government-directed production, financed with directed bank loan, cannot readily adjust to the continously changing patterns of market demand for domestically consumed goods or exports. Gluts and shortages are inevitable...
Peran pemerintah yang terlalu signifikan dianggap hanya akan menciptakan monopoli yang berlebihan atas sumber-sumber produksi. Hal ini kemudian diperparah dengan tidak adanya good governance sehingga peluang terjadinya krisis menjadi sangat lebar. Fenomena crony capitalism memberikan keleluasaan bagi penguasa untuk melakukan berbagai cara (termasuk korupsi) untuk mempertahankan posisi politik mereka. Selain itu besarnya intervensi pemerintah juga menciptakan moral hazard dimana peran pemerintah yang terlalu dominan dalam perbaikan ekonomi akan berimplikasi pada sikap pengusaha yang cenderung tidak ‘berhati-hati’ dalam proses ekonomi. Akibatnya guncangan pada perekonomian negara menjadi sangat mungkin terjadi.


Bertentangan dengan faktor sebelumnya, faktor penyebab krisis Asia yang kedua lebih menekankan pada kelemahan rezim keuangan internasional –IMF dan World Bank-   dalam mengatur jalannya perekonomian global. Joseph Stiglitz menjelaskan bahwa,[3]
Recent developments, however, underscore the challenges presented by a world of mobile capital even for countries with strong economic fundamental. The rapid growth and large influx of foreign investment created economic  strain. In addition heavy foreign investment combined with weak financial regulation to allow lenders in many southeast Asian countries to rapidly expand credit, often to risky borrowers, making the financial system more vulnerable.
Inadequate oversight, not over-regulation caused these problem. Consequently, our emphasis should not be on deregulation, but on finding the right regulatory regime to reestablish stability and confidence.
Kritik yang sangat jelas dialamatkan Stiglitz pada IMF dalam mengelola keuangan global. Hal ini tentunya dengan tidak mengabaikan fakta bahwa pada kenyataannya resep yang diberikan oleh IMF melalui washington consensus nya juga membawa negara pada krisis. Dalam banyak kasus IMF telah menunjukkan kegagalannya. Apa yang terjadi di Amerika Latin, pada beberapa dekade sebelum krisis bergulir ke Asia, telah manjadi contoh konkret terkait hal tersebut. IMF dengan berbagai anjuran ekonominya untuk menanggulangi krisis Amerika Latin pada 1980 juga telah berhasil mengarahkan sebagain besar negara di kawasan itu pada model liberalisasi sebesar-besarnya. Implikasinya pemerintah yang dianggap otoriter kemudian direduksi perannya sehingga pasar dan modal asing memegang kontrol atas jalannya perekonomian. Namun sayanganya model tersebut justru membawa negara-negara Amerika Latin jatuh pada krisis yang jauh lebih parah.


Penulis sendiri melihat bahwa sistem liberalisasi, tidak dapat dipungkiri, memang sarat akan kelemahan terutama jika dikembangkan di negara dunia ketiga. Negara-negara tidak berangkat dari kondisi ekonomi yang sama. Kosekuensinya dominasi negara-negara yang telah ‘mapan’ akan meletakkan negara-negara di Asia yang notabene masih vulnerable pada posisi yang dirugikan. Hal ini sangat jelas terlihat pada FDI dan SAPs yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga keuangan global tidak serta-merta membawa negara pada pembanguanan yang lebih baik. Bahkan faktanya bantuan-bantuan keuangan tersebut justru menimbulkan ketergantungan yang akan lebih menyengsarakan rakyat. Dengan segala bentuk mekanismenya, liberalisasi perdagangan justru semakin memperparah kondisi ekonomi, kesenjangan dan kemiskinan.


Dalam proses pembangunan, maka sepatutnya negara berkembang memikirkan model alternatif dengan tidak hanya terpaku pada ‘uluran tangan’ negara-negara lain atau lembaga keuangan internasional. Pemerintah harus menciptakan model pembangunan yang mandiri. Hal ini guna menciptakan perkonomian yang adil dimana kebijakan ekonomi-politik sepenuhnya didasarnya atas penciptaan kesejahteraan rakyat.
Pasar merupakan ruang yang sangat kompleks namun hanya akan memberikan keuntungan bagi mereka yang memiliki kekuatan modal. Persaingan di dalamnya dapat menjadi sangat ‘brutal’ jika tidak dikontrol. Untuk itu penting untuk kembali memberikan pemerintah porsi yang signifikan dalam mengendalikan jalannya mekanisme pasar. Pengendalian oleh pemerintah ini tentunya diharapkan dapat membuka peluang bagi pengusaha kecil serta kembali meletakkan kewajiban utama mereka atas pengentasan kemiskinan dan penjaminan kesejahteraan rakyat.


Memang akan sulit bagi negara berkembang untuk lepas dari cengkraman liberalisme pasar. Namun hal ini tentunya tidak menjadi alasan bagi negara berkembang untuk terus mengantungkan hidup mereka pada bantuan asing. Perubahan secara bertahap dapat dilakukan dengan melakukan restrukturisasi model pembangunan. Mungkin tidak mudah melakukan perubahan secara revolusioner seperti apa yang dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin, karena memang tidak mudah menemukan pemimpin se-populis Chaves dan kawan-kawan pink tide-nya. Namun hal ini dapat menjadi dorongan bagi negara lain bahwa IMF bukannya satu-satunya penolong dalam mengatasi masalah keuangan negara. Penolakan terhadap bantuan IMF seperti yang dilakukan oleh Malaysia untuk bangkit dari krisis juga telah membuktikan hal tersebut.


Upaya konkret yang menjadi pilihan adalah bagaimana memperkuat kerjasama regional. Di satu sisi kerjasama regional dapat menjadi wadah untuk lebih mengintensifkan perdagangan antar negara se-kawasan dan di sisi lain dapat menciptakan proteksi dari sistem pasar global yang dalam banyak hal dapat sangat merugikan bagi negara berkembang. Selain itu penting untuk kembali mengedepankan industri subtitusi impor. Telah banyak pengalaman negara yang menunjukkan bahwa produksi dengan orientasi ekspor hanya menambah beban ketergantungan. Untuk itu prioritas yang harus dilakukan adalah memperkuat produksi dan pasar domestik. Ketergantungan atas barang-barang impor harus dapat diminimalkan sehingga keuntungan tidak lagi mengalir pada pemodal asing. Adapun dalam pengelolaan keuangan kawasan sendiri, inisiasi dana talangan bersama dalam Chiang Mai Initiative, yang menurut penulis terinspirasi dari pembentukan Bank of The South, telah menunjukkan signal positif dalam penanganan krisis dan bagi pertumbuhan ekonomi kawasan pada umumnya.


Perbaikan dalam model pembangunan tentunya juga harus diiringi dengan sistem pemerintahan yang baik. Good governance dan supremasi hukum menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pembangunan negara. Selajan dengan hal itu, maka masyarakat harus mempunyai akses yang besar dalam setiap kebijakan pemerintah. Pelibatan setiap elemen masyarakat terkait kebijakan yang menyangkut kesejahteraan mereka harus dilakukan demi memberikan peluang bagi masyarakat atas pengawasan implementasi kebijakan tersebut oleh pemerintah. Dengan demikian demkorasi selayaknya tidak hanya dimaknai sebagai ritual prosedural melainkan lebih pada penekanan substansial dimana kepentingan rakyat adalah determinan.


[1] Robert Wade, The Asian Debt and Development Crisis pf 1997 - ? : Causes and Consequences, World Development Vol. 26, No. 8, hal 1535.
[2] Ibid., hal 1536.
[3] Ibid., hal, 1538.

Regionalisme dan MFN



Munculnya regionalisme telah menghadirkan banyak perdebatan terkait perdagangan internasional. Banyak kalangan yang menilai bahwa regionalisme telah melanggar prinsip-prinsip pasar bebas yang  tentunya akan menimbulkan ketimpangan ekonomi. Namun di sisi lain bagi negara-negara yang tergabung dalam organisasi regional, regionalisme merupakan jalan keluar untuk dapar terhindar dari persaingan pasar dunia yang tidak seimbang. Globalisasi telah menciptakan perdagangan bebas dimana negara-negara tidak berangkat dari level ekonomi yang tidak sama. Adanya kecenderungan pasar didominasi oleh negara negara maju seperti AS dan Jepang mengakibatkan negara-negara berkembang sulit untuk ikut serta dan cenderung tereksploitasi dalam kompetisi pasar. Oleh karena itu untuk memperkuat posisi mereka maka negara-negara dalam satu kawasan membentuk kerjasama regional yang kemudian menerapkan aturan-aturan perdagangan yang dikenal dengan PTA.

Preferential Trade Area atau PTA yang merupakan kebijakan untuk mengurangi hambatan perdagangan bagi negara anggota. Arvind Panagaria mendifinisikan PTA sebagai a union between two or more countries in which goods produced within the union are subject to lower barriers than the goods produced outside the union.  Dengan adanya PTA ini arus perdagangan di dalam kawasan akan menjadi semakin intensif sehingga tentunya akan secara langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang dapat dilihat dari produksi dapat mencapai skala ekonomis, transformasi teknologi dan teknik produksi serta peningkatan investasi. Negara-negara dalam kawasan khususnya negara berkembang, jika pandai mengambil peluang, akan sangat terbantu dengan adanya proteksi dan stimulasi ekonomi yang diterapkan dalam organisasi regional tersebut. Indonesia misalnya, dengan adanya PTA dalam kawasan ASEAN, akan sangat diuntungkan ketika melakukan impor mesin-mesin teknologi dari Malaysia dan Singapura atau bahkan ketika meingimpor beras dari Thailand.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya regionalisme menyediakan banyak keuntungan bagi negara-negara yang tergabung di dalamnya. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan volume pasar regional, lalu lintas barang, teknologi dan jasa yang semakin lancar hingga proteksi dari kemungkinan fluktuasi pasar internasional yang tdak menguntungkan. Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana PTA ini akan memberikan dampak bagi negara-negara di luar kawasan. Does it serve as a bulding block or stumbling block to global free trade?  Dengan ‘membatasi’ arus barang hanya dalam kawasannya saja bukankah sama saja dengan menutup kesempatan bagi sebagian basar negara di dunia.

Pemberlakuan PTA ini sendiri pada dasarnya dianggap telah melanggar prinsip MFN yang telah diatur oleh WTO. Melalui MFN, WTO telah menetapkan bahwa perdagangan haruslah adil tanpa adanya diskriminasi atas tarif yang dikenakan pada setiap negara. Dalam menciptakan perdagangan bebas, WTO menetapkan aturan terkait PTA demi mencegah terjadinya ketimpangan ekonomi. Namun pada kenyatannya, PTA dalam kerjasama regional telah memberikan keistimewaan-keistimewaan yang sangat menguntungkan bagi negara anggotanya di satu sisi, namun juga dapat merugikan negara outsiders di sisi lain.
Isu ‘building block or stumbling block’ terkait regionelisme telah semakin mengemuka, terutama setelah kebijakan moneter tunggal yang diterapkan oleh Uni Eropa. Untuk itu, agar dapat lebih memahami mengenai efek yang ditimbulkan oleh regionalisme perlu untuk melihat dua konsep utama dalam analisis Vinerian yaitu trade creating dan trade diverting.

Dalam regionalisme trade creating merujuk pada kondisi ketika PTA membentuk suatu pasar internal yang besar dimana setiap anggota bisa berspealisasi pada produk-produk berdasarkan faktor-faktor keunggulan yang dimilikinya. Jika prinsip ini dilakukan oleh semua negara anggota dan semua sumber daya produksi yang ada digunakan secara full employment (proses produksi mencapai titik optimal atau skala ekonomis), maka akan tercipta perdagangan dalam kawasan tersebut . Misalnya dalam ASEAN, untuk mencapai skala ekonomis, Indonesia berspesialisasi pada karet sementara Malaysia pada minyak sawit. Dengan adanya PTA maka akan lebih menguntungkan bagi Indonesia untuk mengimpor minyak sawit dari Malaysia dari pada memproduksi sendiri, demikian pula sebaliknya, Malaysia akan mengimpor karet dari Indonesia. Hal ini tentunya akan menciptakan perdagangan yang saling menguntungkan antara kedua negara anggota. Disamping itu, Trade Creating ini juga akan memberikan keuntungan bagi negara outsiders, ketika spesialisasi produksi juga melibatkan impor produk yang lebih murah tidak hanya dari negara-negara anggota saja. Sehingga walaupun masih diberlakukan hambatan tarif, perdagangan masih dapat berlangsung secara global.

Selanjutnya istilah trade diverting mengacu pada kondisi ketika perdagangan dalam blok-blok ekonomi akan memberikan kerugian tidak hanya bagi negara outisders namun juga kepada negara-negara anggota blok regional itu sendiri. Hal dikarenakan negara-negara anggota yang saling meningkatkan volume perdagangan akibat rendahnya biaya impor, namun pada kenyataannya negara-negara outsider menyediakan barang yang sama dengan harga yang jauh lebih murah.  Misalnya dalam hal impor teknologi ramah lingkungan. Karena tergabung dalam ASEAN dan menerapkan PTA, maka Indonesia lebih memilih untuk mengimpor produk tersebut dari Malaysia. Namun pada kenyatannya Australia yang tidak terikat perjanjian regional dengan Indonesia menyediakan produk yang sama dengan harga yang jauh lebih murah. Akibatnya perdagangan menjadi tidak efisien dan tentunya justru akan menimbulkan kerugian baik bagi Indonesia maupun Australia.

Dengan menggunakan analisis Vinerian ini kita dapat melihat melihat bahwa regionalisme itu sendiri memang mamiliki kelemahan-kelemahan yang seringkali diabaikan oleh banyak negara. Namun pada dasarnya potensi kerugian akibat kelemahan tersebut dapat minimalisir. Negara-negara yang tergabung dalam suatu organisasi regional tentunya harus lebih “bijak” dalam memilih mitra dagang dan tidak hanya terpaku pada negara-negara se-regionnya saja. Sekalipun telah menerapkan PTA di regionalnya, tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara outsider juga memiliki kapasitas untuk menyediakan produk dengan keunggulannya sendiri dan tentunya dengan harga yang lebih murah. Sehingga dengan demikian, walaupun hambatan tarif antar negara regional telah dihilangkan namun penciptaan perdagangan (trade creating) dalam skala global masih dapat terus ditingkatkan. Di sisi lain negara-negara outsider juga harus pandai dalam melihat peluang perdagangan dalam suatu regional. Dengan melakukan spesialisasi dan pengembangan kualitas produk akan meningkatkan nilai jual dan tentunya akan membuka peluang untuk masuk ke dalam pasar regioinal.

Kondisi ini juga kemudian membuka ruang untuk dapat lebih mensinkronkan regionalisme dengan prinsip-prinsip MFN. Negara-negara dalam regional tertentu memang telah menghilangkan hambatan tarif, akan tetapi mereka juga dapat tetap melakukan perdagangan dengan negara outsiders sehingga kecenderungan untuk menutup peluang dan membatasi perdagangan bebas dengan sendirinya dapat dihindarkan. Prinsip-prinsip MFN dapat tetap dijaga dengan tidak memberikan diskriminasi ataupun perlakukan istimewa terhadap produk dari negara manapun. Sehingga walaupun blok-blok regional terbentuk namun perdagangan global dapat tetap berjalan seimbang. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa, dalam sebuah regionalisme ekonomi trade creating harus lebih tingkatkan dari pada trade diverting agar perdagangan tersebut dapat dikatakan “MFNable.”

Critical Theory - The Metatheory



Teori kritis pada awalnya merujuk pada sebuah tradisi pemikiran yang berkembang di sebuah institut penelitian di Universitas Frankfurt, tahun 1920an yang kemudian dikenal dengan mahzab Frankfurt atau Frankfurt School. Pemikiran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Georg Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund Freud dan terutama Karl Marx. Adapun pemikir utama pada masa itu antara lain Max Horkheimer dan Theodore Adorno. Pemikiran ini banyak mengalami perkembangan dan modivikasi sehingga muncul aliran-aliran baru yang membawa nama seperti Jurgen Habermas sebagai pemikir teori kritis kontemporer.

Dalam disiplin ilmu hubungan internasional sendiri, perkembangan teori kritis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap transformasi ilmu, yang dulunya didasarkan atas standar positivis yang memperhatikan fakta dan kepastian telah bergeser pada isu-isu baru dibalik itu, yang lebih terkait dengan bagaimana suatu pengetahuan dikosntruksi dalam masyarakat tanpa mengabaikan aspek moral, kesejarahan dan asumsi. Teori kritis muncul dengan memberikan pandangan baru dan menjadi kajian ilmu yang yang sangat luas walaupun pada perkembangannya teori ini menimbulkan banyak kontroversi, bahkan di kalangan pemikirnya sendiri.

Untuk lebih mamahami apa sebenarnya teori kritis, maka pembahasan akan dijelaskan dengan memisahkan dimensi-dimensi yang membentuknya.

Dimensi metateoritis
Ontologi – Asumsi Dasar
Sifat dan karakter manusia dibentuk dan berkembang dalam berbagai lingkungan sosial disekitarnya dan pada periode waktu yang dilaluinya.
Fokus kajian dalam teori kritis adalah masyarakat itu sendiri sehingga tidak dapat dipisahkan antara objek dan subjek dalam pengamatannya. Terkait dengan identifikasi subjek dan objek pengamatan ini, terdapat perbedaan mendasar antara teori kritis dengan teori-teori tradisional. Konsepsi tradisional tentang teori memandang teoritikus lepas dari subjek analisis. Dengan analogi ilmu pengatahuan alam, menjelaskan bahwa subjek dan objek harus benar-benar terpisah agar bisa berteori dengan selayaknya. Konsepsi tradisional teori menganggap sesuatu dapat dianggap teori ketika ia menjadi bebas nilai, dimana subjek menarik diri dari dunia yang sedang ia teliti dengan meninggalkan keyakinan, nilai-nilai, atau opini ideologis yang akan mengganggu penyelidikan. Sementara hal ini bertentangan dengan teori kritis yang melihat bahwa teori mutlak berkaitan dengan kehidupan sosial dan politik. Teori kritis menjelaskan tujuan-tujuan yang diajukan oleh teori tertentu. Konsep teori kritis mengakui bahwa ilmu pengetahuan secara tidak terelakkan terlibat dalam tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi yang membentuk kehidupan sosial dan politik dan oleh karena itu penekanan atau intervensi sangat mungkin dilakukan dalam pembentukannya.
Dengan demikian terdapat sebuah hubungan sistematis antara struktur logis dari suatu pengetahuan dengan struktur pragmatis yang mungkin yang dijabarkan kerangka pikir ilmiah. Tidak dapat dinafikkan adanya kepentingan-kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam masyarakat.
Tidak ada yang disebut sebagai ‘fakta’ tentang dunia. Nilai-nilai yang dipegang oleh seseorang atau sekelompok masyarakat akan mempengaruhi penafsirannya tentang dunia. Oleh sebab itu, teori kritis tidak mengakui adanya objektifitas ilmu. Habermas menyatakan bahwa ilmu memang dibangun dalam kerangka kepentingan objektivasi alam dan realitas dalam rangka eksploitasi, dan dari sini sesungguhnya muncul paradoks bahwa demi teraihnya teori murni, ‘kepentingan’ ditekan dalam rangka melayani ‘kepentingan’ untuk memandang dunia sebagai sesuatu yang independen dari ‘kepentingan.’

Epistimologis
Teori kritis berupaya menunjukkan adanya bentuk ketidakadilan dan hegemoni yang terstruktur dan terbentuk dalam masyarakat. Jika dalam pandangan marxis lebih melihat adanya dominasi ekonomi dalam bentuk penguasaan sumber dan alat produksi, maka teori kritis lebih menekankan aspek budaya dan ideologi yang ada dibaliknya. Merujuk pada perkembangan teori kritis Gramscian, hegemoni dalam hal ini berbeda dengan dominasi dimana dominasi menggambarkan sebuah pola hubungan kekuasaan yang cenderung ditandai dengan paksaan dan ditopang oleh sarana-sarana militer. Hegemoni di sisi lain menggambarkan pola hubungan kekuasaan yang lebih mengandalkan legitimasi daripada paksaan. Hubungan kekuasaan yang hegemonis ditopang oleh legitimasi yaitu adanya penerimaan, kepatuhan dan dukungan oleh kelompok sosial yang tertindas terhadap sistem yang ada yang sebenarnya sangat eksploitatif. Teori ini mencoba untuk menggambarkan adanya “pemaksaan” sistematis dan persuasif yang dibentuk oleh pemilik kepentingan yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk ide dan pandangan manusia yang kemudian akan menentukan pola tindakan manusia tersebut yang kemudian akan dijadikan norma budaya sosial yang membentuk peradaban manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa hegemoni bekerja pada ranah ideologi dimana pihak yang berkuasa dapat memperoleh legitimasi dan pembenaran atas tindakannya.
Dengan meletakkan asusmsi bahwa terdapat kepentingan yang dapat memanipulasi pengetahuan manusia, teori kritis melihat apa yang diungkapkan sebagai suatu “virtual reality” atau refeksi dari “false conciousness” yang melekat dalam diri masyarakat sosial sebagai hasil dari hegemoni ideologi-ideologi dominan.
Teori kritis mencoba menyajikan sebuah konsep yang akan dijadikan pijakan evaluasi terhadap norma-norma sosial. Teori ini akan mengarah pada pembebasan manusia atas segala bentuk penindasan, yang dilakukan dalam dan atas nama rasionalitas modern.

Motodologis
Teori kritis menjelaskan mengenai hakikat realitas sosial melalui refleksi yang luas tentang hakikat pengetahuan, dan interaksi sosial serta tendensi-tendensi politis, ekonomis dan sosio-kultural yang terjadi saat itu. Karena teori kritis menganggap masyarakat sendiri sebagai objek analisisnya dan karena teori tidak pernah berdiri sendiri dalam masyarakat, lingkup analisis teori kritis tentunya meliputi refleksi teori itu sendiri. Dengan kata lain suatu teori kritis haruslah menjadi teori yang reflektif dalam penerapannya dalam masyarakat.
Dalam konsepsi teori kritis, suatu fenomena sosial harus diamati dalam konteks kesejarahan yang utuh atau dengan kata lain dengan tidak meninggalkan aspek-aspek historis yang tentu saja sangat berpengaruh dalam pembentukan suatu masyarakat. Teori kritis merumuskan penggalan historis yang komprehensif yang mancakup faktor-faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis dan gender ataupun latar belakang historis lainnya yang terkait dengan situasi yang dikaji saat ini.
Teori kritis Habermas menekankan bahwa untuk meciptakan keadilan bagi masyarakat maka hubungan manusia seharusnya didasari atas komunikasi intersubjektif yang bebas, terbuka dan tidak ada tekanan, sehingga setiap manusia akan dengan bebas mengekspresikan dirinya tanpa adanya intervensi dari pihak lain. Dalam hal ini teori kritis mengakui adanya rasionalisasi sebagai komunikasi yang bebas dan terbuka atas argumentasi yang dimiliki.

Dimensi Advokasi
Teori kritis bertujuan untuk memberikan pencerahan dalam diri masyarakat sebagai pelaku sosial sehingga mereka dapat “bergerak” untuk menentukan dan memperjuangkan “kepentingan sejati” mereka.
Bersifat emasipatoris dengan menempatkan diri sebagai pelaku pembebasan dari berbagai bentuk dominasi dan hegemoni. Teori kritis berupaya untuk menyajikan kerangka sistematis untuk memperlihatkan pada masyarakat akan adanya hegemoni. Suatu hegemoni akan roboh ketika masyarakat menyadari akan adanya hegemoni, dan bentindak resisten terhadapnya dan dalam tahap yang lebih lanjut akan menjadikan teori counter-hegemony sebagai rujukan ideologis dalam aktifitas sosial mereka. Teori kritis menekankan bahwa agar tercipta perubahan, maka perlu untuk tidak hanya memenangkan peperangan ‘di lapangan’ tetapi juga dalam wilayah ide-ide. Dengan demikian perubahan ini juga mencakup seperangkat nilai-nilai dan terutama sejumlah konsep alternatif sebagai upaya untuk memikirkan dan menjelaskan ‘realitas’ sosial yang sedang berlangsung dan kemungkinan-kemungkinan alternatifnya.

Referensi :
Dedy Nur Hidayat, “Teori-Teori Kritis dan Teori-Teori Ilmiah.”
Jill Steans & Lloyd Pettiford, “Hubungan Internasional Perspektif dan Tema,” Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009. Bab 4.
Muhadi Sugino, “Teori Kritis dalam Hubungan Internasional,” dalam Asrudin, Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer, Graha Ilmu, 2009.
Scott Burchill.,dkk, Theories of International Relations. Edisi ketiga. New York: Palgrave MacMillan, 2005. Chapter 6.
Sindung Tjahyadi, “Teori Kritis Jurgen Habermas : Asumsi-Asumsi Dasar Menuju Metodologi Kritik Sosial.”

English School in IR



Teori English School pada dasarnya berawal dari suatu pemikiran untuk menemukan suatu gambaran yang komprehensif mengenai tatanan dunia internasional, yang saat itu ditandai dengan esai yang ditulis oleh Martin Wight yang berjudul “Why is there no International theory?”  Menurut Wight, jika melihat dari perkembangan ilmu hubungan internasional itu sendiri maka pemikiran-pemikiran HI akan sangat didominasi oleh dua pemikiran utama yaitu realisme dan idealisme, yang berbasis ilmu politik, dimana keduanya tidak mempunyai titik temu dan saling bertentangan satu sama lain. Di satu sisi realisme meyakini ada jurang yang tidak terjembatani antara politik dalam negeri dan politik internasional. Negara menjadi aktor utama dalam politik global yang anarki. Sementara di sisi lain kaum idealisme melihat bahwa jurang antara politik dalam negeri dan internasional bisa dipersempit, bahkan dihilangkan sama sekali. Setiap aktor dalam hubungan internasional mampu untuk saling bekerja sama demi mewujudkan ketertiban dunia.

Berangkat dari pemikiran tersebut maka Wight dalam kuliahnya yang disampaikan di London School of Economics  tahun 1950-an mencoba untuk memberikan suatu pemikiran baru yang dapat menjembatani kedua pemikiran besar di atas. Wight mengungkapkan rasionalisme sebagai via media antara realisme dan revolusianisme (idealisme). Pemikiran rasionalisme ini mengakui bahwa hubungan antar manusia didasari oleh keadilan (justice) dan ketertiban (order), namun rasionalisme juga tidak menyangkal adanya kondisi anarki karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai kepentingan masing-masing, sehinga munculnya clash dalam hal ini sangat mungkin terjadi, dimana keputusan yang diambil oleh manusia yang satu akan berpengaruh pada manusia yang lain. Pada akhirnya teori ini akan mengarahkan kita pada suatu tatanan masyarakat internasional yang dapat hidup berdampingan namun tanpa adanya otoritas yang berkuasa.

Pada dasarnya Teori English School sangat mengedepankan aspek historis dalam perkembangannya. Wight sendiri menunjukkan ketertarikan pada masyarakat internasional yang telah ada dalam sejarah umat manusia. Dia berpendapat bahwa untuk memehami sebuah masyarakat maka diperlukan suatu investigasi mendalam mengenai nilai, adat dan budaya serta segala bentuk perubahan yang menyertainya. Apa yang terjadi di masyarakat Eropa, Ottoman Empire dan Cina memberikan catatan penting bagi pemikirannya. Adanya keteraturan dalam masyarakat dalam komunitasnya sendiri sehingga dapat berineraksi dengan baik menjadi dampak dari adanya kesamaan nilai dan norma yang menjadi landasan utama. Setiap bagian dari masyarakat tersebut meyakini bahwa mereka semestinya menjadi bagian dari sebuah peradaban besar yang sangat unggul dari budaya-budaya lainnya. Hal inilah yang kemudian membentuk suatu ketertiban dan menciptakan keadilan bagi seluruh elemen di dalam masyarakat tersebut.

Dalam kerangka hubungan antar negara English School menyakini bahwa kedaulatan negara merupakan hal yang utama, yang kemudian diperjuangkan dalam hubungan internasional yang anarki. Tidak ada otoritas tertinggi di atas negara namun anarki tidaklah dilihat sebagai suatu kondisi yang dapat mencegah negara untuk dapat saling bekerja sama. Adapun yang menjadi penakanan adalah tatanan internasional yang tercipta dari hubungan yang saling menguntungkan. Setiap negara yang saling berinteraksi dan bekerjasama pada akhirnya akan membentuk suatu ketertiban internasional. Oleh karena itu eksistensi suatu lembaga internasional juga menjadi hal yang sangat penting menurut teori ini.

Terkait dengan hal tersebut, Bull menegaskan bahwa “sebuah sistem negara (atau sistem internasional) terbentuk ketika dua negara atau lebih memiliki kontak yang cukup inten di antara mereka, dan memiliki dampak yang cukup besar bagi keputusan satu sama lain hingga menyebabkan mereka menunjukka reaksi –setidaknya dalam beberapa tindakan- sebagai bagian dari keseluruhan. Sedangkan untuk masyarakat negara yaitu ketika ada sekelompok negara, sadar akan adanya kepentingan dan nilai-nilai umum tertentu, membentuk suatu masyarakat dalam artian bahwa mereka menempatkan diri mereka sendiri sehingga terikat oleh serangkaian peraturan umum dalam hubungan mereka dengan yang lain, dan bekerja bersama-sama dalam lembaga-lembaga umum.” Dengan demikian, apa diungkapkan oleh Wight yaitu, ketiadaan “negara dunia”, dan adanya keberagaman negara-negara, tidak secara otomatis membuat politik internasional berada dalam keadaan perang dan membuat konsep masyarakat internasional menjadi tidak berarti.

Lebih lanjut Bull menjelaskan bahwa suatu tatanan bisa muncul diantara negara yang tidak merasa bahwa mereka masuk dalam peradaban yang sama. Adanya kebutuhan untuk saling berinteraksi dan hidup berdampingan, karena tidak ada negara yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan menghasilkan suatu diplomatic cuture – budaya diplomatik, yaitu sebuah sistem peraturan, perjanjian dan adat kebiasaan yang mempertahankan tatanan antara unit-unit politik dengan budaya dan ideologi yang berbeda-beda. Pada perkembangannya nilai-nilai tersebut akan mengalami proses universalitas yang terjadi secara alamiah dan berangsur-angsur, dimana dalam pandangan English School, proses universalitas nilai bukanlah hal yang dapat dipaksakan atau ditekankan kepada satu negara, melainkan diadopsi dan dijalankan secara sadar. Jika budaya diplomatis ini menjadi lebih kuat dimana unit-unit politik secara luas terikat pada bentuk kehidupan yang sama maka mereka akan membentuk suatu ¬international political culture. Proses peng-universal-an nilai dan norma ini pada akhirnya akan membentuk suatu international society of states yang menjunjung tinggi international norm.

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh suatu international society of states-tatanan  internasional dijelaskan oleh Bull dalam The Anarchical Society, yang menekankan beberapa kesamaan khusus antara masyarakat domestik dengan masyarakat internasional, yaitu suatu masyarakat dapat dikatakan ada ketika semua elemen didalamnya harus bekerjasama untuk mewujudkan tiga tujuan utama yaitu : membatasi kekerasan, menghargai kepemilikan dan menjaga suatu perjanjian. Namun yang juga menjadi penakanan di sini adalah bahwa masyarakat domestik dan masyarakat inetrnasional mempunyai perbedaan yang signifikan dalam hal kekuasaan yang berdaulat. Dalam masyarakat domestik individu dikendalikan oleh aturan-aturan dasar yang terinstitusionalkan dan mengikat, sedangkan ciri utama dari suatu masyarakat inernasional adalah tidak adanya kekuasaan berdaulat yang lebih tinggi diatas negara. Oleh karena itu pemikiran ini, walaupun meyakini eksistensi lembaga internasional, namun tidak untuk memberikan kewenangan penuh untuk mengontrol, tetapi hanya menetapkan aturan-aturan dasar yang mengatur perilaku yang tepat. International society of states dianggap sebagai satu-satunya konsep yang dapat menaungi hubungan antar negara. Hubungan negara-negara ini seiring dengan perkembangannya akan mengalami peningkatan karena negara-negara belajar mengenai pentingnya mengatur kekuasaan dan membawa peradaban dalam hubungan mereka.

Dalam mengamati proses beralihnya sistem negara ke sistem masyarakat internasional, di kalangan English School sendiri terpecah menjadi dua pandangan berbeda, yaitu pandangan Vattelian (pluralis) dan pandangan Grotian (solidaris). Pandangan Grotian lebih melihat pada pentingnya aspek solidaritas dalam masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara, yaitu menghormati pelaksanaan hukum. Grotian menghendaki adanya norma universal yang mencakup nilai-nilai kemanusiaan yang harus dipatuhi dan menjadi aturan tindakan negara-negara dalam sistem masyarakat internasional. Selain itu pandangan ini menekankan adanya penegakan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia demi tercapainya satu keadilan, sehingga akan memungkinkan bagi masyarakat internasional untuk melakukan intervensi terhadap pelanggaran nilai-nilai tersebut. Di sisi lain Vattelian yang bertentangan dengan pendapat sebelumnya beranggapan bahwa pluralitas harus tetap dihargai dan bahwa setiap negara tetap dapat berinteraksi dalam masyarakat internasional dengan memegang nilai dan norma masing-masing. Vattelian melihat kondisi masyarakat internasional sebagai konsep yang sangat rapuh sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan perubahan yang progresif. Pandangan ini juga menolak adanya universalitas nilai, yang dapat memunculkan peluang intervensi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dapat dilakukan oleh masyarakat internsional, dimana hal ini dianggap dapat melanggar kedaulatan negara.

Dalam menganalisis kondisi tersebut, Bull melihat sulitnya beralih dari pluralisme ke solidarisme. Harapan dari solidaritas yang lebih besar secara signifikan dapat saja bersifat ‘prematur’. Hal ini dengan tidak menafikan bukti bahwa konflik bisa muncul antara tujuan-tujuan utama masyarakat internasional dalam kaitannya dengan ketertiban dan keadilan. Ketertiban yang bergantung pada keseimbangan kekuasaan antara kekuatan-kekuatan besar misalnya dapat berbenturan dengan keadilan yang menghendaki agar negara diperlakukan dengan setara. Dalam hal ini pandangan English School menyatakan bahwa setiap negara memegang nilai moral bukan untuk mempertahankan kekerasan melainkan bagi tujuan ketertiban himpunan umat manusia sebagai satu kesatuan.
Sebagai kesimpulan saya berpendapat bahwa teori English School merupakan teori yang berupaya untuk menjembatani dua pemikiran besar, antara realisme dan idealisme, dengan mengajukan konsep mengenai rasionalisme dalam sebuah tatanan masyarakat internasional. English School berusaha memahami bagaimana negara-negara yang berbeda kultur bisa mencapai kesepakatan dalam hal prinsip-prinsip ketertiban dan keadilan internasional.

Referensi :
Burchill, Scott.,dkk, Theories of International Relations. Edisi ketiga. New York: Palgrave MacMillan, 2005. Chapter 4.
Griffith,  Martin. International relations theory for 21st century.  New York: Routledge, 2007. Chapter 7.