Teori English School pada dasarnya berawal dari suatu pemikiran untuk menemukan suatu gambaran yang komprehensif mengenai tatanan dunia internasional, yang saat itu ditandai dengan esai yang ditulis oleh Martin Wight yang berjudul “Why is there no International theory?” Menurut Wight, jika melihat dari perkembangan ilmu hubungan internasional itu sendiri maka pemikiran-pemikiran HI akan sangat didominasi oleh dua pemikiran utama yaitu realisme dan idealisme, yang berbasis ilmu politik, dimana keduanya tidak mempunyai titik temu dan saling bertentangan satu sama lain. Di satu sisi realisme meyakini ada jurang yang tidak terjembatani antara politik dalam negeri dan politik internasional. Negara menjadi aktor utama dalam politik global yang anarki. Sementara di sisi lain kaum idealisme melihat bahwa jurang antara politik dalam negeri dan internasional bisa dipersempit, bahkan dihilangkan sama sekali. Setiap aktor dalam hubungan internasional mampu untuk saling bekerja sama demi mewujudkan ketertiban dunia.
Berangkat dari pemikiran tersebut maka Wight dalam kuliahnya yang disampaikan di London School of Economics tahun 1950-an mencoba untuk memberikan suatu pemikiran baru yang dapat menjembatani kedua pemikiran besar di atas. Wight mengungkapkan rasionalisme sebagai via media antara realisme dan revolusianisme (idealisme). Pemikiran rasionalisme ini mengakui bahwa hubungan antar manusia didasari oleh keadilan (justice) dan ketertiban (order), namun rasionalisme juga tidak menyangkal adanya kondisi anarki karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai kepentingan masing-masing, sehinga munculnya clash dalam hal ini sangat mungkin terjadi, dimana keputusan yang diambil oleh manusia yang satu akan berpengaruh pada manusia yang lain. Pada akhirnya teori ini akan mengarahkan kita pada suatu tatanan masyarakat internasional yang dapat hidup berdampingan namun tanpa adanya otoritas yang berkuasa.
Pada dasarnya Teori English School sangat mengedepankan aspek historis dalam perkembangannya. Wight sendiri menunjukkan ketertarikan pada masyarakat internasional yang telah ada dalam sejarah umat manusia. Dia berpendapat bahwa untuk memehami sebuah masyarakat maka diperlukan suatu investigasi mendalam mengenai nilai, adat dan budaya serta segala bentuk perubahan yang menyertainya. Apa yang terjadi di masyarakat Eropa, Ottoman Empire dan Cina memberikan catatan penting bagi pemikirannya. Adanya keteraturan dalam masyarakat dalam komunitasnya sendiri sehingga dapat berineraksi dengan baik menjadi dampak dari adanya kesamaan nilai dan norma yang menjadi landasan utama. Setiap bagian dari masyarakat tersebut meyakini bahwa mereka semestinya menjadi bagian dari sebuah peradaban besar yang sangat unggul dari budaya-budaya lainnya. Hal inilah yang kemudian membentuk suatu ketertiban dan menciptakan keadilan bagi seluruh elemen di dalam masyarakat tersebut.
Dalam kerangka hubungan antar negara English School menyakini bahwa kedaulatan negara merupakan hal yang utama, yang kemudian diperjuangkan dalam hubungan internasional yang anarki. Tidak ada otoritas tertinggi di atas negara namun anarki tidaklah dilihat sebagai suatu kondisi yang dapat mencegah negara untuk dapat saling bekerja sama. Adapun yang menjadi penakanan adalah tatanan internasional yang tercipta dari hubungan yang saling menguntungkan. Setiap negara yang saling berinteraksi dan bekerjasama pada akhirnya akan membentuk suatu ketertiban internasional. Oleh karena itu eksistensi suatu lembaga internasional juga menjadi hal yang sangat penting menurut teori ini.
Terkait dengan hal tersebut, Bull menegaskan bahwa “sebuah sistem negara (atau sistem internasional) terbentuk ketika dua negara atau lebih memiliki kontak yang cukup inten di antara mereka, dan memiliki dampak yang cukup besar bagi keputusan satu sama lain hingga menyebabkan mereka menunjukka reaksi –setidaknya dalam beberapa tindakan- sebagai bagian dari keseluruhan. Sedangkan untuk masyarakat negara yaitu ketika ada sekelompok negara, sadar akan adanya kepentingan dan nilai-nilai umum tertentu, membentuk suatu masyarakat dalam artian bahwa mereka menempatkan diri mereka sendiri sehingga terikat oleh serangkaian peraturan umum dalam hubungan mereka dengan yang lain, dan bekerja bersama-sama dalam lembaga-lembaga umum.” Dengan demikian, apa diungkapkan oleh Wight yaitu, ketiadaan “negara dunia”, dan adanya keberagaman negara-negara, tidak secara otomatis membuat politik internasional berada dalam keadaan perang dan membuat konsep masyarakat internasional menjadi tidak berarti.
Lebih lanjut Bull menjelaskan bahwa suatu tatanan bisa muncul diantara negara yang tidak merasa bahwa mereka masuk dalam peradaban yang sama. Adanya kebutuhan untuk saling berinteraksi dan hidup berdampingan, karena tidak ada negara yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan menghasilkan suatu diplomatic cuture – budaya diplomatik, yaitu sebuah sistem peraturan, perjanjian dan adat kebiasaan yang mempertahankan tatanan antara unit-unit politik dengan budaya dan ideologi yang berbeda-beda. Pada perkembangannya nilai-nilai tersebut akan mengalami proses universalitas yang terjadi secara alamiah dan berangsur-angsur, dimana dalam pandangan English School, proses universalitas nilai bukanlah hal yang dapat dipaksakan atau ditekankan kepada satu negara, melainkan diadopsi dan dijalankan secara sadar. Jika budaya diplomatis ini menjadi lebih kuat dimana unit-unit politik secara luas terikat pada bentuk kehidupan yang sama maka mereka akan membentuk suatu ¬international political culture. Proses peng-universal-an nilai dan norma ini pada akhirnya akan membentuk suatu international society of states yang menjunjung tinggi international norm.
Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh suatu international society of states-tatanan internasional dijelaskan oleh Bull dalam The Anarchical Society, yang menekankan beberapa kesamaan khusus antara masyarakat domestik dengan masyarakat internasional, yaitu suatu masyarakat dapat dikatakan ada ketika semua elemen didalamnya harus bekerjasama untuk mewujudkan tiga tujuan utama yaitu : membatasi kekerasan, menghargai kepemilikan dan menjaga suatu perjanjian. Namun yang juga menjadi penakanan di sini adalah bahwa masyarakat domestik dan masyarakat inetrnasional mempunyai perbedaan yang signifikan dalam hal kekuasaan yang berdaulat. Dalam masyarakat domestik individu dikendalikan oleh aturan-aturan dasar yang terinstitusionalkan dan mengikat, sedangkan ciri utama dari suatu masyarakat inernasional adalah tidak adanya kekuasaan berdaulat yang lebih tinggi diatas negara. Oleh karena itu pemikiran ini, walaupun meyakini eksistensi lembaga internasional, namun tidak untuk memberikan kewenangan penuh untuk mengontrol, tetapi hanya menetapkan aturan-aturan dasar yang mengatur perilaku yang tepat. International society of states dianggap sebagai satu-satunya konsep yang dapat menaungi hubungan antar negara. Hubungan negara-negara ini seiring dengan perkembangannya akan mengalami peningkatan karena negara-negara belajar mengenai pentingnya mengatur kekuasaan dan membawa peradaban dalam hubungan mereka.
Dalam mengamati proses beralihnya sistem negara ke sistem masyarakat internasional, di kalangan English School sendiri terpecah menjadi dua pandangan berbeda, yaitu pandangan Vattelian (pluralis) dan pandangan Grotian (solidaris). Pandangan Grotian lebih melihat pada pentingnya aspek solidaritas dalam masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara, yaitu menghormati pelaksanaan hukum. Grotian menghendaki adanya norma universal yang mencakup nilai-nilai kemanusiaan yang harus dipatuhi dan menjadi aturan tindakan negara-negara dalam sistem masyarakat internasional. Selain itu pandangan ini menekankan adanya penegakan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia demi tercapainya satu keadilan, sehingga akan memungkinkan bagi masyarakat internasional untuk melakukan intervensi terhadap pelanggaran nilai-nilai tersebut. Di sisi lain Vattelian yang bertentangan dengan pendapat sebelumnya beranggapan bahwa pluralitas harus tetap dihargai dan bahwa setiap negara tetap dapat berinteraksi dalam masyarakat internasional dengan memegang nilai dan norma masing-masing. Vattelian melihat kondisi masyarakat internasional sebagai konsep yang sangat rapuh sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan perubahan yang progresif. Pandangan ini juga menolak adanya universalitas nilai, yang dapat memunculkan peluang intervensi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dapat dilakukan oleh masyarakat internsional, dimana hal ini dianggap dapat melanggar kedaulatan negara.
Dalam menganalisis kondisi tersebut, Bull melihat sulitnya beralih dari pluralisme ke solidarisme. Harapan dari solidaritas yang lebih besar secara signifikan dapat saja bersifat ‘prematur’. Hal ini dengan tidak menafikan bukti bahwa konflik bisa muncul antara tujuan-tujuan utama masyarakat internasional dalam kaitannya dengan ketertiban dan keadilan. Ketertiban yang bergantung pada keseimbangan kekuasaan antara kekuatan-kekuatan besar misalnya dapat berbenturan dengan keadilan yang menghendaki agar negara diperlakukan dengan setara. Dalam hal ini pandangan English School menyatakan bahwa setiap negara memegang nilai moral bukan untuk mempertahankan kekerasan melainkan bagi tujuan ketertiban himpunan umat manusia sebagai satu kesatuan.
Sebagai kesimpulan saya berpendapat bahwa teori English School merupakan teori yang berupaya untuk menjembatani dua pemikiran besar, antara realisme dan idealisme, dengan mengajukan konsep mengenai rasionalisme dalam sebuah tatanan masyarakat internasional. English School berusaha memahami bagaimana negara-negara yang berbeda kultur bisa mencapai kesepakatan dalam hal prinsip-prinsip ketertiban dan keadilan internasional.
Referensi :
Burchill, Scott.,dkk, Theories of International Relations. Edisi ketiga. New York: Palgrave MacMillan, 2005. Chapter 4.
Griffith, Martin. International relations theory for 21st century. New York: Routledge, 2007. Chapter 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar