Minggu, 03 Februari 2013

Konsumerisme dan Kekerasan Struktural

Konsumerisme telah menjadi istilah yang lazim kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Pasar, televisi dan berbagai bentuk media lainnya telah menjadi sarana untuk melanggengkan konsumerisme. Pada kenyatannya konsumerisme telah menjadi panduan baru dalam kehidupan manusia yang lebih dilandaskan pada kebutuhan material semata.

Konsumerisme pada dasarnya lebih seiring dipahami sebagai gerakan sosial yang berupaya memberikan perlindungan kepada konsumen di dalam pusaran kepentingan bisnis dan mempromosikan hak-hak konsumen. Akan tetapi walaupun banyak penulis yang mendifinisikan konsumerisme sebagai gerakan sosial, banyak juga yang kemudian lebih menekankan bahwa konsumerisme merupakan sumber dari kekerasan struktural. Hal inilah yang coba dikemukakan oleh Sue McGregor, bahwa sebenarnya dibalik etalase toko yang menyediakan berbagai macam produk, terdapat suatu bentuk kekerasan yang telah di normalisasi oleh struktur yang ada.

Jika menghubungkan antara konsumerisme dengan kekerasan struktural tentunya yang akan menjadi titik analisis kita adalah proses ekonomi yang dilaluli oleh suatu produk. Hal ini ini meliputi proses produksi, distribusi dan perdagangan produk, hingga sampainya produk tersebut ke tangan konsumen. Untuk itu kekerasan struktural itu sendiri pada dasarnya terimplementasi pada tidak terpenuhinya hak-hak pekerja, asal dan transportasi produk, jenis hubungan perdagangan, bahan kimia yang digunakan dalam produksi dan pengolahan, dan efek sosial dan lingkungan lainnya dari produk pada manusia, hewan dan lingkungan alam. Kesemua ini menciptakan lingkaran pola konsumsi yang diskriminatif, tidak hanya bagi manusia tetapi juga bagi kelestarian lingkungan. Nike misalnya, menghasilkan $ 9 miliar dari penjualan. Setelah membayar tagihan, Nike memiliki keuntungan $ 796 juta. Lebih dari setengah juta orang di dunia kerja untuk Nike dan mereka mendapat, rata-rata, US $ 800,00 per tahun (total $ 40 juta). Di sis lain The Fisher Family, pendiri dan eksekutif dari Gap, Banana Republic, dan Old Navy, membeli 230.000 hektar lahan hutan di Mendocino County, California, dan telah menebang redwoods, menghancurkan perikanan salmon, memusnahkan habitat satwa liar yang berharga, dan mencemari air minum masyarakat.

Adapun yang kemudian menjadi masalah utama ketika konsumerisme telah menjadi budaya tidak tidak dapat terbantahkan dalam masyarakat modern. Seseorang dianggap modern ketika dia telah mampu membeli barang yang sedang up to date dan sisi lain mereka yang tidak mengikuti pola konsumsi tersebut akan dikucilkan dalam pergaulan masyarakat. Di samping itu semakin jauhnya jarak antara produsen dan konsumen juga semakin meminimkan pengetahuan konsumen terhadap proses produksi yang berlangsung. Akibatnya konsumen hanya tahu membeli barang tanpa melihat bagaimana proses yang ada dibaliknya.

Hal ini kemudian diperparah ketika orang yang telah terjebak dalam lingkaran konsumerisme pada dasarnya tidak memiliki sensitivitas terhadap lingkungan yang ada disekitarnya. Persons living in a consumer society live a comfortable life at the expense of impoverished labors and fragile ecosystems in other countries. Too often, they conclude that they must arm themselves to protect their commodities and the ongoing access to them. This position justifies war an violence (Cejka, 2003). Pendapat ini juga dikemukakan oleh Sue McGregor dalam tilisannya Cosumerism and Peace, yang melihat skepticism dan whateverism sebagai model berpikir manusia saat ini. Mereka tidak peduli dari mana barang tersebut berasal dan proses yang dilaluinya, selama kebutuhan konsumsi mereka dapat terpenuhi, maka whatever menjadi ekspresi atas tindakan pasif mereka.

Terciptanya konsumerisme itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari pengaruh struktur internasional. Liberalisasi perdagangan, globalisasi dan industrialisasi menjadi faktor pendorong utama meningkatnya konsumsi masyarakat. Liberalisasi perdagangan semakin membuka pasar tanpa hambatan yang juga semakin mengintegrasikan konsumen. Sejalan dengan hal tersebut, globalisasi membentuk budaya masyarakat yang semakin konsumtif. Semakin kecilnya hambatan dan “distance” dalam interaksi manusia juga semakin memperbesar kemungkinan terjadinya pertukaran nilai dan ide, termasuk dalam hal budaya dan fashion. Sementara di sisi lain model industrialisasi telah membawa konsumerisme sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sangat tergantung dari penjualan produk baru yang berlangsung secara terus-menerus. Sehingga untuk tetap menggerakkan roda perekonomian yang harus dilakukan adalah dengan terus membeli barang baru dan membuang barang lama.

Pola konsumsi manusia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bertanggung jawab terhadap kekerasan struktural yang terjadi di belahan dunia yang lain. Saya sepakat dengan Sue McGregor bahwa konsumen hingga saat ini menutup mata dengan fakta bahwa pakaian yang mereka kenakan telah dibuat melalui proses yang sangat diskriminatif. Sebagian besar konsumen, terutama di negara-negara maju, mengetahui bahwa barang yang mereka konsumsi dibuat di salah satu negara miskin dengan tingkat pendapatan buruh yang sangat rendah dan pencemaran terhadap lingkungan yang sangat parah. Akan tetapi mereka lebih memilih untuk tidak peduli dan terus membeli barang.

Budaya modern telah menjadi pendukung utama konsumerisme. Orang tidak lagi membeli berdasarkan apa yang mereka butuhkan, akan tetapi mereka membeli suatu barang karena barang yang sama sedang banyak digunakan dalam dalam lingkup pergaulan mereka. Tidak ada lagi batas antara needs dan desire. The definition of what constitutes a "necessity" is changing, and the distinctions between luxuries and necessities are blurring. Kehidupan modern telah membuat seseorang mendefinisi kembali apa kebutuhan/needs mereka. Kebutuhan tidak lagi diartikan sebagai barang yang memang mereka perlukan dalam kelangsungan hidup mereka, akan tetapi lebih mengarah pada kebutuhan akan penerimaan dalam masyarakat. Sehingga implikasinya orang-orang kemudian meletakkan kebutuhan yang seberanrnya luxuries sebagai kebutuhan dasar mereka.

Karena membeli barang tidak lagi didasarkan atas needs, maka tingkat konsumsi seseorang akan bertambah semakin besar. Terlebih jika mereka membeli barang bedasarkan trend yang ada. Trend budaya yang sedang digandrungi akan mendorong seseorang untuk membeli barang yang sebetulnya tidak mereka perlukan, dan hal ini akan terus berulang.

Pembelian barang secara terus-menerus inilah yang kemudian kita kenal dengan konsumerisme. Jika konsumerisme merupakan sumber dari berbagai bentuk kekerasan struktural, maka tentunya kita sebagai konsumen yang terus membeli barang secara langsung bertanggung jawab terhadap terciptanya kekerasan struktural tersebut. Untuk itu sebaiknya akan lebih bijak jika kita berpikir lagi dalam membeli. Metode yang dapat kita lakukan adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini kepada diri kita sendiri.
  • Apakah saya benar-benar memerlukannya?
  • Berapa banyak yang sudah saya punya?
  • Seberapa sering saya akan memakainya?
  • Akan habis berapa lama?
  • Bisakah saya meminjam saja dari teman atau keluarga?
  • Bisakah saya melakukannya tanpa barang ini?
  • Akankah saya bisa membersihkan dan/atau merakitnya sendiri?
  • Akankah saya bisa memperbaikinya?
  • Apakah barang ini berkualitas baik?
  • Bagaimana dengan harga? Apakah ini barang sekali pakai?
  • Apakah barang ini ramah lingkungan?
  • Dapatkah didaur-ulang?
  • Apakah barang ini bisa diganti dengan barang lain yang sudah saya miliki?
Langkah awal untuk menekan tingkat konsumerisme adalah dimulai dari diri kita sendiri dan lingkaran terdekat kita. Tindakan aktif dalam menyebarkan gagasan dan informasi mengenai efek negatif konsumerisme akan berkontribusi pada peminimalan berbagai bentuk kekerasan struktural. Sekali lagi, mengutip kalimat Sue McGregor, Consumerism is . . . directly responsible for violence, the root causes of which are greed, hatred and delusion. [Being] unaware of this structural violence [means we] are responsible for violent conflicts everywhere.

The Slow Food Movement

Globalisasi telah membawa kita pada dunia yang semakin terkoneksi dan telah membentuk masyarakat internasional yang semakin mudah untuk saling bertukar ide dan informasi. Saat ini kita dapat mengetahui kejadian di beberapa tempat dalam satu waktu tanpa harus berada di tempat-tempat tersebut. Di satu sisi hal ini akan berimplikasi positif ketika masyarakat internasional dapat berinteraksi secara langsung, dimana ruang bukan lagi menjadi hambatan. Semakin kecilnya hambatan dalam interaksi ini juga tentunya akan semakin mudah membangun sense of belonging sebagai warga dunia.

Ide masyarakat dunia atau yang kita kenal dengan kosmolitanisme telah menjadikan globalisasi sebagai media perantara utama. Globalisasi akan membentuk sistem interaksi dan mobilisasi yang semakin mudah bagi manusia di berbagai belahan dunia. Oleh karena itu proses pengglobalan itu sendiri menjadi syarat utama dalam muwujudkan cita-cita masyarakat yang kosmopolit.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri pula bahwa globalisasi yang ada sekarang juga menimbulkan ketimpangan dalam berbagai lini kehidupan. Perdagangan bebas, hegemoni budaya hingga dominasi politik telah menciptakan klasifikasi masyarakat. Mereka di bagi atas yang kaya dan yang miskin, yang modern dan tradisional hingga yang beradad dan yang dianggap masih jauh dari peradaban. Pada kenyataannya setiap manusia mengahadapi dunia yang semakin terkoneksi dengan latar belakang dan tingkat adaptasi yang berbeda-beda. Belum lagi ketika sistem tersebut dibuat dan didukung penuh oleh mereka yang mempunyai kekuasaan, sehingga hanya menguntungkan beberapa golongan saja.

Hal ini lah yang kemudian mendorong munculnya sejumlah gerakan-gerakan masyarakat global dalam berbagai isu. Dengan didukung oleh cepatnya pertukaran informasi, masyarakat mampu menghimpun diri untuk bergerak secara bersama-sama dalam menanggapi berbagai fenomena sosial. Munculnya berbagai dominasi dan suborninasi kemudian disadari dan memicu munculnya protes dari masyarakat internasional yang kemudian kita kenal dengan global social movement.

Ada berbagai isu yang diangkat dalam gerakan masyarakat global atau global social movement. Akan tetapi semuanya mengacu pada reaksi atas munculnya ketidakadilan dan ketimpangan dalam sistem politik, ekonomi dan budaya internasional yang ada saat ini. Untuk itu banyak juga yang kemudian mengidentikkan global social movement dengan anti-globalization movement. Dimana pada dasarnya substansi dari protes gerakan mereka berada pada wilayah yang sama yaitu merasa ada yang salah dengan sistem dunia dan kemudian melakukan gerakan untuk merubahnya.

Adapun yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini adalah mengenai Slow Food movement. Mendengar kata Slow Food mungkin sekilas akan tergambar di benak kita makanan-makanan di disajikan dalam waktu yang lama, berbeda dengan yang ada di restoran cepat saji yang selama ini kita nikmati. Akan tetapi ide dan tujuan yang di bawa oleh Slow Food movement pada dasarnya jauh lebih dari pada seberapa lama waktu yang dibutuhkan dalam menghidangkan makanan. Melalinkan keseluruhan proses yang dilalui makanan tersebut hingga dapat tersaji di atas meja.


Membangun Jaringan Slow Food Sebagai Suatu Gerakan Sosial Global.

Slow Food merupakan sebuah gerakan yang membawa ide tentang bagaimana kita hidup dan bagaimana kita makan. Slow Food adalah sebuah gerakan grass root – akar rumput global dengan ribuan anggota di lebih dari 150 negara, yang mencoba menghubungkan antara makanan dengan komitmen kepada masyarakat dan lingkungan. Pesan utama yang ingin disampaikan dalam garakan ini adalah bahwa setiap orang harusnya mengetahui dan bertanggung jawab terhadap setiap apa yang mereka makan.

Slow Food movement menjadi aksi solidaritas yang terorganisasi untuk merubah pola hidup masyarakat yang telah lebih mengutamakan produk-produk instan dan tanpa memperhatikan proses yang ada dibaliknya, termasuk dalam hal makanan. Terkait hal tersebut gerakan ini bekerja dengan berdasar pada beberapa prinsip, yaitu :
Good – Baik : Kata yang baik dapat berarti banyak hal untuk banyak orang. Untuk Slow Food, gagasan yang baik berarti menikmati makanan lezat yang berasal tumbuhan atau hewan yang sehat. Di samping itu makanan yang baik juga dapat membantu untuk membangun komunitas dan melestarikan budaya dan keanekaragaman daerah.
Clean – Bersih : Ketika kita berbicara tentang makanan yang bersih, kita berbicara tentang makanan bergizi yang baik untuk planet dan juga bagi tubuh kita. Hal ini mencakup pengolahan makanan dari ia ditanam hingga disajikan dengan melalui proses yang tidak berdampak negatif pada ekosistem lokal dan mempromosikan keanekaragaman hayati.
Adil – Fair : Kami percaya bahwa makanan adalah hak universal. Makanan yang adil harus dapat diakses oleh semua, terlepas dari berapa pun pendapatan mereka. Di samping itu makanan juga harus diproduksi oleh orang-orang yang diperlakukan dengan bermartabat dan diberi kompensasi yang adil atas pekerjaan mereka.

Selanjutnya, seperti yang jelaskan dalam situs resminya, kegiatan yang dilakukan oleh gerakan Slow Food meliputi :
  • Meningkatkan kesadaran masyarakat, meningkatkan akses dan mendorong pemanfaatan sumber makanan lokal.
  • Merawat tanah dan melindungi keanekaragaman hayati bagi masyarakat saat ini dan generasi mendatang.
  • Melakukan penjangkauan pendidikan dalam komunitas serta melakukan kampanye kepada anak-anak di sekolah-sekolah.
  • Mengidentifikasi, mempromosikan dan melindungi buah-buahan, sayuran, biji-bijian, kelestarian hewan, makanan tradisional dan tradisi memasak yang beresiko menghilang.
  • Advokasi untuk petani dan perajin yang menanam, memproduksi, memasarkan, mempersiapkan dan melayani makanan yang sehat.
  • Mempromosikan perayaan makanan sebagai wujud dari rasa syukur, budaya dan masyarakat.
Secara garis besar aktivitas utama dalam gerakan ini adalah bagaimana membangun jaringan masyrakat dan menyebarkan ide dari Slow Food itu sendiri. Hingga saat ini telah banyak kelompok yang saling berinteraksi dalam jaringan Slow Food. Kurang lebih terdapat 100.000 anggota di 153 negara, lebih dari 2.000 komunitas makanan dalam jaringan Terra Madre, dan lebih dari 10.000 produsen kecil yang terlibat dalam proyek-proyek Presidia. Adapun cakupan jaringan Slow Food di bagi dalam lingkup lokal, nasional dan internaisonal.
  • Lokal Setiap orang dapat bergabung dengan salah satu dari convivia (cabang lokal) gerakan ini. Setiap conviva bekerja secara mandiri untuk mempertahankan budaya kuliner mereka dan untuk mendukung masa depan makanan yang lebih berkelanjutan, menyebarkan filosofi Slow Food dan malakukan tindakan nyata. Saat ini lebih dari 1.500 convivia di seluruh dunia yang menggerakkan Slow Food.
  • Nasional Terdapat tujuh negara yang memiliki cabang nasional yang telah dibentuk untuk mengkoordinasikan kegiatan Slow Food serta mengorganisir setiap acara dan proyek. Setelah Slow Food di Italia, di mana asosiasi ini lahir, cabang Slow Food dibentuk di Swiss, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Belanda.
  • Internasional Kantor Slow Food Internasional merencanakan dan mempromosikan pengembangan gerakan secara global. Gerakan ini memiliki Board of Directors yang dipilih setiap empat tahun melalui International Slow Food Council, dan International Council yang setidaknya berjumlah 500 orang yang terdiri dari wakil dari negara-negara. Pendiri Slow Food Carlo Petrini adalah Presiden asosiasi tersebut.

Munculnya Slow Food Sebagai Gerakan Sosial

Jika dilihat dari namanya akan jelas bahwa Slow Food merupakan bentuk negasi dari Fast Food, walaupun aktivitas gerakan ini tidak hanya terbatas untuk menggugat Fast Food saja. Pada dasarnya Slow Food memang dibentuk salah satunya dengan melihat fakta bahwa masyarakat modern saat ini telah semakin terjerat dalam lingkaran Fast Food yang juga telah bermunculan di mana-mana. Akan tetapi disadari pula bahwa Fast Food sendiri merupakan bagian dari struktur dan sistem global yang tercipta. Sehingga Slow Food sebagai bentuk penolakan terhadap Fast Food tentunya harus berorientasi untuk mengubah struktur yang telah terbentuk.

Untuk menganalisis munculnya suatu gerakan sosial tentunya harus dengan melihat faktor-faktor yang mendorongnya,. Dalam hal ini terdapat empat penekanan dalam melihat latar belakang munculnya gerakan sosial global yaitu kondisi objektif, subjektif, kultural dan identitas. Walaupun terdapat perdedaan dalam hal pendorong munculnya gerakan, akan terapi pada dasarnya keempat kondisi ini menekankan pada susbtansi yang sama, yaitu penolakan atas adanya ketidakadilan dan ketimpangan secara struktural. Dalam penjelasan di bawah akan lebih banyak menguraikan tentang kondisi objektif dan cultural yang melatarbelakangi munculnya gerakan Slow Food.


Objective condition

Kondisi objektif merupakan salah satu pendorong munculnya gerakan sosial termasuk Slow Food. Faktor ini menekankan pada terciptanya suatu kondisi struktural yang tidak adil yang kemudian menimbulkan protes dalam masyarakat. Karena menyadari adanya ketimpangan dalam struktur tersebut maka orang-orang yang berada pada situasi disorientasi berkumpul dan membentuk collective behavior untuk melakukan gerakan perlawanan.

Munculnya gerakan Slow Food diawali dengan kondisi di mana masyarakat telah terjebak dalam lingkaran Fast Food. Fast Food sendiri pada kenyataannya merupakan suatu produk kapitalisme yang hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Meluasnya pola pikir materialistis yang di bawa oleh kapitalisme telah mendorong masyarakat untuk menciptakan produk dalam kuatitas yang besar dan waktu yang singkat, tidak terkecuali makanan. Fast Food kemudian menjadi komoditas yang paling diandalkan dalam untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam upaya mencapai keuntungan maksimal tersebut, kemudian banyak faktor yang dibaikan dalam industri Fast Food. Faktor kesehatan, lingkungan dan kesejahteraan pekerja misalnya yang tidak begitu diperhatikan dalam hampir semua perusahaan Fast Food. Telah jelas bahwa kentang goreng dan burger memiliki kalori yang sangat tinggi dan menimbulkan penggemukan tidak sehat. Dan tidak hanya itu Fast Food juga sarat dengan bahan kimia tambahan, seperti aspartam dan monosodium glutamat (MSG). Menurut FDA Total Diet Study, hamburger di seluruh dunia mengandung 113 residu pestisida yang berbeda.

Fast Food juga merupakan salah satu industri yang menyumbang besar terhadap penumpukan sampah. Begitu banyak kemasan dan limbah berasal dari Fast Food. Pembungkus makanan, serbet, kotak, wadah styrofoam, plastik, dll, adalah sumber utama dari sampah perkotaan di Amerika Serikat. Dari semua sampah, limbah styrofoam yang paling umum dan terburuk karena membutuhkan setidaknya 900 tahun untuk itu untuk memecahnya di tempat pembuangan sampah. Selanjutnya Fast Food juga banyak mendapat protes karena upah pekerja yang sangat rendah. Hal ini berbanding terbalik dengan omset perusahaan yang sangat tinggi. McDonald misalnya, memiliki masalah tenaga kerja akibat kurang membayar lembur dan tidak memberi kebebasan berserikat bagi para perkerjanya.

Menanggapi kondisi tersebut, maka muncul gerakan dari masyarakat yang menyadari akan buruknya produk makanan yang selama ini dinikmati sebagian masyarakat dunia dan juga penolakan terhadap struktur yang membentuknya. Slow Food mencoba menyajikan produk makanan yang lebih berkualitas dan juga menyebarluaskan ide dan informasi bahwa makanan selayaknya harus sehat dan tidak menumbulkan berbagai bentuk kekerasan struktural baik bagi manusia maupun bagi lingkungan. Dengan membangun jaringan internasional gerakan ini mencoba membangun kesadaran masyarakat dan mengkampanyekan prinsip-prinsip Slow Food (good, clean dan fair) sebagai bentuk gugatan terhadap sistem dan pola produksi makanan yang ada saat ini.


Cultural Factor

Budaya merupakan produk hasil interaksi dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya yang diyakini dalam suatu masyarakat mengkonstruksi bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku. Globalisasi di sisi lain merupakan proses interaksi tanpa batas yang juga melibatkan unsur budaya di dalamnya. Dan juga tidak dapat dihindari bahwa dampak yang ditimbulkan kemudian adalah munculnya budaya yang lebih mendominasi yang kemudian menetapkan standar modern atau baradabnya suatu masyarakat.

Makanan merupakan salah satu produk budaya manusia. Namun sayangnya indutrialisasi dan konsumerisme yang di dukung oleh globalisasi dan liberalisasi perdagangan telah banyak mengubah cara makan masyarakat saat ini. Fast Food telah menjadi trend baru dalam masyarakat. Padahal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Fast Food pada dasarnya tidak lebih dari produk yang diciptakan dalam rangka meraup keuntungan materil yang sebesar-besarnya.

Hal ini lah yang menjadi penekanan, bahwa untuk mencapai keuntungan maksimal tersebut salah satu cara yang kemudian ditempuh adalah dengan menggeser budaya masyarakat. Secara tidak disadari budaya masyarakat telah dikonstruksi untuk lebih menguntungkan, termasuk dalam hal makanan. Pola kehidupan masyarakat yang semakin konsumtif telah mengubah paradigma mereka tentang hakekat mengapa mereka makan. Makan tidak lagi hanya diartikan untuk memberi supply energi pada tubuh tapi lebih dari itu makan akan semakin bernilai ketika mereka duduk di restoran cepat saji yang telah menjadi strandar masyarakat modern. Dampaknya gerai Fast Food akan selalu ramai di mana saja.

Berdasar hal tersebut Slow Food kemudian dibentuk sebagai suatu gerakan untuk membentuk kembali budaya masyarakat menganai bagaimana mereka harus hidup dan bagaimana mereka makan. Penekanan utama dalam kampanye Slow Food adalah mengembalikan budaya masyarakat termasuk mencintai makanan dan pengolahan makanan sesuai dengan nilai-nilai yang mereka miliki, tanpa harus dipengaruhi oleh standar masyarakat modern yang diciptakan Fast Food. Masyarakat harus sadar bahwa pola produksi makanan yang berbasis pada Fast Food tidak lebih dari industri yang mencari keuntungan materil semata, dan atas berbagai implikasi negatif yang ditimbulkan maka mereka harus bergerak melakukan penolakan atas hal tersebut.


Kesimpulan

Slow Food merupakan sebuah gerakan sosial global yang terbentuk sebagai respon atas adanya ketimpangan struktural dalam cara hidup dan cara makan dalam masyarakat saat ini. Menjamurnya Fast Food dan berbagai dampak negatif yang menyertainya telah mendorong masyarakat untuk bergerak dan melakukan penolakan dan upaya perubahan atas struktur yang ada. Di mana Fast Food sendiri pada dasarnya merupakan bagian dalam struktur tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut, hegemoni budaya telah mengubah pola hidup masyarakat, termasuk dalam hal apa yang mereka makan. Dengan membangun jaringan internasional gerakan Slow Food mencoba melepaskan masyarakat dalam ikatan hegemoni tersebut. Slow Food mencoba mengkampanyekan ide bahwa kita makan bukan karena tuntutan modernitas, dimana makanan yang kita nikmati harusnya bermanfaat bagi kesehatan tubuh dan juga tidak menciptakan kekerasan struktural bagi manusia dan lingkungan.

Dalam gerakan Slow Food sendiri dapat kita lihat bahwa masyarakat berkumpul karena adanya kesadaran akan nilai yang mereka yakini bersama. Tanpa memandang berbagai macam entitas (suku, agama maupun kewarganegaraan) mereka membentuk collective action untuk melakukan penolakan atas struktur yang mereka anggap salah dan tidak adil. Dalam hal ini konsmopolitanisme tergambarkan melalui gerakan bersama untuk mengkampanyekan bahwa setiap orang harus bertanggung jawab terhadap apa yang mereka makan.

Kekerasan dan Eksploitasi Sumber Daya Alam

Ketidakadilan dalam distribusi hasil pengolahan sumber daya alam telah menjadi masalah hampir di semua negara, terutama negara berkembang dan negara-negara yang masih terbelakang secara ekonomi. Dalam banyak kasus kita jumpai bahwa sumber daya alam yang seharusnya digunakan demi kesejahteraan rakyat pada dasarnya hanya digunakan untuk lebih memperkaya sekelompok orang saja. Bahkan tidak jarang negara yang kaya akan sumber daya alam justru masih terlibat dalam konflik bersenjata dimana masyarakatnya hidup jauh dari rasa aman. Hal ini tentunya menjadi ironi, dimana kekayaan alam sapatutnya menjadi pendukung penciptaan kesejahteraan masyarakat.

Philippe Lebillon merupakan salah satu peneliti yang mencoba menguraikan keterkaitan antara eksploitasi sumber daya alam dan konflik bersenjata. Dalam tulisannya The Political Ecology of War and Resource Exploitation, Lebillon menjelaskan bahwa negara-negara yang mempunyai kekayaan alam, akan tetapi belum mempunyai kemampuan dalam mengolahnya, pada kenyataannya masih terlibat dalam konflik bersenjata, baik itu di dalam negaranya sendiri ataupun yang seringkali juga melibatkan negara yang berbatasan secara langsung. Lebillon mengambil contoh fenomena blood diamond yang terjadi di Sierra Leone, dimana negara yang kaya akan berlian tersebut masih terlibat konflik bersenjata antara pihak-pihak yang saling memperebutkan kekuasaan dan keuntungan materil yang sebesar-besarnya. Berlian di Sierra Leone tidak lagi dilihat sebagai potensi alam yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, akan tetapi lebih kepada penyebab dan sumber konflik yang ada.

Lebillon menggunakan konsep conflict resources untuk menjelaskan bagaimana melihat konflik dengan latar belakang perebutan sumber daya alam yang terjadi di banyak negara yang masih underdeveloped. Titik penekanan Lebillon adalah bahwa terdapat pengaruh dari pola ekonomi politik global, geopolitik dan ketersediaan sumber daya alam dalam terciptanya perang dan berbagai bentuk kekerasan langsung maupun struktural. Sistem ekonomi politik dunia yang ada saat ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap terjadinya konflik. Kapitalisme dan mekanisme liberalisasi perdagangan yang tidak adil pada kenyataannya telah kembali melanggengkan perbudakan dan kolonialisme. Ketika negara-negara maju melihat negara-negara miskin tidak lebih sebagai modal dan komoditas dalam memenuhi kepentingan ekonomi politik mereka, apa pun cara yang ditempuh.

Rezim pemerintahan yang otoriter dan tidak memihak rakyat juga kemudian menjadi pendukung eskalasi konflik. Pemerintah yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat, justru sibuk memperkaya diri mereka masing. Kekayaan alam hanya dikuasai oleh sekelompok elit yang berada di kursi kekuasaan, yang juga dengan sistem liberalisasi dan privatisasi, memberikan kewenangan yang sangat besar pada pemilik modal dan kelompok bisnis dalam eksplorasi sumber daya alam yang sebesar-besarnya. Dampaknya kemudian adalah berbagai bentuk kekerasan dialami oleh masyarakat terutama dalam hal akses mereka terhadap kehidupan yang lebih layak. Konflik atas eksploitasi minyak di Niger Delta misalnya, yang hingga saat ini masih mengalami masalah terkait tumpahan minyak dan pembakaran, kurangnya lapangan kerja dan pelayanan publik, pemindahan paksa, kebakaran dan bahaya ledakan, represi brutal dan pembunuhan ekstra-yudisial. Dalam hal ini, kekerasan baik fisik ataupun struktural, telah banyak terjadi dalam eksploitasi sumber daya dalam bentuk perampasan sumber daya, manipulasi harga, kerja paksa atau perpindahan penduduk, yang secara umum berakar dari sistem ekonomi kapitalisme yang melihat hubungan manusia hanya berlandaskan pada kepentingan materil semata.

Pada kenyataannya sistem ekonomi politik dunia yang dibangun saat ini memang dirancang untuk lebih menguntungkan negara-negara maju dan kelompok pemilik modal. Liberalisasi pasar dan kekuataan modal pada kenyataannya telah menempatkan negara-negara pinggiran (periphery) dalam situasi yang tidak siap dalam kompetisi sehingga bagi mereka yang tidak mampu bertahan. Liberalisasi perdagangan juga memberikan pasar serta peluang yang semakin ekspansif. Melalui proses globalisasi yang membentuk dunia bordeless maka kesempatan dalam akses ekonomi semakin besar. Namun, sejatinya kesempatan ini hanya bisa dimanfaatkan secara penuh oleh negara maju. Pada kenyataannya, banyak negara dunia ketiga yang tidak memiliki kompetensi ekonomi, teknologi, maupun sumber daya manusia untuk bersaing secara fair. Terlebih lagi negara-negara ini tidak didukung oleh sistem politik yang stabil dan bersih. Rezim pemerintahan yang korup, otoriter, konflik antar suku yang kemudian diperparah dengan hadirnya korporasi global menjadikan kesejahteraan masyarakat tidak pernah dipenuhi secara optimal.

Di tengah-tengah kompleksitas kepentingan ekonomi-politik tersebut, konflik dan kekerasan struktural seringkali muncul sebagai akibat dari bertemunya kepentingan-kepentingan ekonomi-politik dalam level yang berbeda. Masyarakat yang berada pada level atas cenderung bersifat lebih eksploitatif tentunya dengan sumber daya modal yang dimiliki. Sementara pada level bawah, masyarakat tidak mempunyai kekuatan untuk mengolah sumber daya alam sehingga secara sturtural menjadi objek kekerasan. Adapun level aktor dan kepentingan ini menurut saya dapat dibagi kedalam tiga tipologi kekerasan struktural.

Pertama, perebutan sumber daya alam antara kelompok masyarakat asal dengan kelompok masyarakat yang pendatang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sumber daya alam seperti barang tambang, lahan subur, dan hutan menjadi barang rebutan bagi siapapun untuk datang, mengeksplorasi, dan mengeksploitasi. Dalam banyak kasus di negara berkembang seperti Indonesia, pengusaha dan masyarakat pendatang biasanya mendapat izin ekplorasi skala kecil dan menengah atas izin pemerintah setempat. Pendatang ini biasanya memiliki peralatan, sumber daya, modal, hingga jaringan bisnis yang sudah lebih siap dibanding masyarakat lokal yang biasanya sama sekali belum memiliki skill, modal, maupun jaringan apapun soal “sumber daya alam” yang mereka miliki. Pemerintah daerah pun jarang sekali yang menfasilitasi rakyatnya untuk mendapatkan akses dan kemampuan yang sama dalam mengolah sumber daya alamnya. Akhirnya warga lokal biasanya tergerus dan kalah bersaing dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka. Hasilnya, masyarakat pendatang cenderung “lebih kaya” dibanding masyarakat lokal. Kesenjangan struktural akhirnya terjadi antar kelompok masyarakat. Kondisi inilah menjadi salah satu sebab pecahnya konflik-konflik pertambangan maupun konflik-konflik agraria. Di Indonesia, kasus-kasus tambang di Kalimantan dan Sulawesi misalnya menjadi bukti atas persaingan antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang.

Selain konflik dan kekerasan yang terjadi antara masyarakat lokal dan pendatang, eksploitasi SDA dalam sistem ekonomi-kapitalis melahirkan tipologi kedua yakni kekerasan struktural yang terjadi akibat bertemunya kepentingan kapitalistik negara dengan kepentingan survival dari warga lokal yang merasa bahwa negara merampas hak-hak ekonomi dan ruang hidup mereka. Di Indonesia kasus-kasus seperti ini biasanya menyeruak menjadi konflik agrarian antara kelompok masyarakat asli dengan perusahan-perusahaan negara seperti PTPN. Di Sulawesi Selatan misalnya, pernah terjadi konflik agrarian antara Serikat Petani Polongbangkeng dengan PTPN IV yang berencana menjadikan lahan masyarakat menjadi areal perkebunan gula nasional. Kasus-kasus alih fungsi hutan juga kerap terjadi antara kelompok masyarakat adat dan pemerintah.

Ketika konflik seperti ini terjadi, negara biasanya menggunakan aparatus kekerasannya untuk menghadapi perlawanan masyarakat. Negara merasa memiliki hak untuk mengelola sumberdaya alam karena memiliki “kewajiban” ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan meningkatkan pemasukan melalui komsumsi domestik dan perdagangan internasional. Kebutuhan pasar yang terinternalisasi pada kekuasaan negara akhirnya mewujud pada bentuk kekerasan pada warganya. Sementara disisi lain, masyarakat lokal yang bertahan biasanya melawan bukan hanya karena sebab ekonomi (kehilangan mata pencaharian) namun juga menyangkut ruang kebudayaan, sejarah, dan kearifan lokal mereka.

Ketiga, globalisasi ekonomi juga menciptakan ruang ekonomi yang leluasa dimasuki oleh korporasi-korporasi global. Kebutuhan akan bahan baku, tenaga kerja murah, efisiensi produksi, dan ekspansi kapital membuat negara-negara berkembang menjadi tujuan industrialisasi dan penyedia bahan baku atau setengah jadi. Untuk masuk ke sebuah wilayah, korporasi menggunakan berbagai modus, mulai dari cara halus seperti “structural adjustment program” yang didukung oleh lembaga-lembaga donor melalui tindakan-tindakan simbiosis mutualistik-koruptif antara korporasi dengan pemerintah hingga melakukan tindakan-tindakan represif (dengan bantuan apparatus negara) kepada masyarakat lokal yang mempertahankan habitat hidupnya. Tipologi ketiga ini merupakan bentuk mutakhir yang memperhadapkan masyarakat dengan kekuasaan negara dan kekuatan kapital korporasi. Gerakan perlawanan masyarakat adat Papua dengan Freeport dan kasus PT. London Sumatera dengan masyarakat adat di Bulukumba, Sulawesi Selatan menjadi potret jelas dari bagaimana masyarakat sipil vis a vis dengan kekuatan kapitalisme dan negara.

Sejalan dengan hal itu, semakin terkoneksinya dunia serta liberalisasi perdagangan juga menimbulkan implikasi semakin luasnya model kekerasan yang terjadi. Demi mendapatkan materi yang sebesar-besarnya manusia memanfaatkan globalisasi sebagai sarana untuk mendukung terciptanya berbagai bentuk kekerasan struktural. Contoh konkrit yang dapat kita lihat adalah war economics. Mark Duffied dalam tulisannya War as A Network Enterprise, The New Security Terrain and its Implications, menjelaskan bahwa war economics telah menjadi fokus bahasan dalam berbagai penciptaan kekerasan. Pasar dan perdagangan senjata global secara illegal, praktek pencucian uang dan sindikat kriminal lainnya menunjukkan bahwa terdapat benyak celah dalam sistem ekonomi internasional yang kemudian berdampak pada terciptanya kekerasan struktural di berbagai wilayah. Bahkan perang dan konflik sendiri telah menjadi bentuk komoditas, dimana telah muncul organisasi yang menyediakan jasa untuk menciptakan perang. Munculnya private military company secara langsung telah berkontribusi dalam konflik yang terjadi di berbagai negara yang didorong oleh motivasi penguasaan atas sumber daya alam.

Sistem ekonomi-politik kapitalisme saat ini telah menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh materi sebesar-besarnya. Secara historis, kita bisa melihat bahwa pasca krisis kapitalisme di Eropa dan Amerika selalu diikuti oleh perang dan invasi-invasi militer. Perang Dunia I dan II juga invasi-invasi yang dilakukan oleh AS ke negara-negara Timur Tengah selalu didahului oleh kondisi krisis kapitalisme. Krisis selalu membutuhkan supply baru untuk menghidupi urat nadi kapitalisme. Disini, konflik dan perang sengaja diciptakan untuk terutama di negara-negara yang kaya akan sumber daya alam. Dengan menciptakan konflik maka akan memperkecil cost dalam eksploitasi sumber daya alam yang tentunya akan semakin menyengsarakan masyarakat. Situasi konflik secara langsung akan meminimalisir tanggung jawab para pelaku bisnis terhadap penciptaan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan yang tentunya akan lebih melipatgandakan keuntungan mereka. Maka tidak mengherankan kemudian jika dalam banyak industri di negara-negara berkembang masalah yang dihadapi oleh masyarakat di samping konflik bersenjata adalah, kemiskinan dan kerusakan lingkungan.

Menjadi fenomena ironis ketika kita melihat negara yang kaya akan sumber daya alam akan tetapi justru mensejahterakan dan memperkaya manusia di belahan bumi yang lain. Di sisi lain negara dengan limpahan sumber daya alam tersebut masih harus berjuang dalam konflik bahkan dengan saudara mereka sendiri. Pola interaksi manusia telah lebih didasarkan atas kalkulasi untung rugi. Ketika hubungan manusia hanya dilandasakan keuntungan materil semata, akan tidak mengherankan kemudian jika banyak orang yang telah mapan dalam posisi mereka akan memilih untuk semakin menutup mata terhadap berbagai kekerasan struktural yang ada, dimana mereka pada dasarnya mereka bertanggung jawab atas penciptaan kekerasan tersebut.

Referensi

Mark Duffield, War As A Network Enterprise, The New Security Terrain and its Implications, Published in Cultural Values: The Journal for Cultural Research, Jan-April 2002, 6 (1&2): 153-166.
Philippe Lebillon, The Political Ecology of War and Resource Exploitation.