Teori kritis pada awalnya merujuk pada sebuah tradisi pemikiran yang berkembang di sebuah institut penelitian di Universitas Frankfurt, tahun 1920an yang kemudian dikenal dengan mahzab Frankfurt atau Frankfurt School. Pemikiran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Georg Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund Freud dan terutama Karl Marx. Adapun pemikir utama pada masa itu antara lain Max Horkheimer dan Theodore Adorno. Pemikiran ini banyak mengalami perkembangan dan modivikasi sehingga muncul aliran-aliran baru yang membawa nama seperti Jurgen Habermas sebagai pemikir teori kritis kontemporer.
Dalam disiplin ilmu hubungan internasional sendiri, perkembangan teori kritis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap transformasi ilmu, yang dulunya didasarkan atas standar positivis yang memperhatikan fakta dan kepastian telah bergeser pada isu-isu baru dibalik itu, yang lebih terkait dengan bagaimana suatu pengetahuan dikosntruksi dalam masyarakat tanpa mengabaikan aspek moral, kesejarahan dan asumsi. Teori kritis muncul dengan memberikan pandangan baru dan menjadi kajian ilmu yang yang sangat luas walaupun pada perkembangannya teori ini menimbulkan banyak kontroversi, bahkan di kalangan pemikirnya sendiri.
Untuk lebih mamahami apa sebenarnya teori kritis, maka pembahasan akan dijelaskan dengan memisahkan dimensi-dimensi yang membentuknya.
Dimensi metateoritis
Ontologi – Asumsi Dasar
• Sifat dan karakter manusia dibentuk dan berkembang dalam berbagai lingkungan sosial disekitarnya dan pada periode waktu yang dilaluinya.
• Fokus kajian dalam teori kritis adalah masyarakat itu sendiri sehingga tidak dapat dipisahkan antara objek dan subjek dalam pengamatannya. Terkait dengan identifikasi subjek dan objek pengamatan ini, terdapat perbedaan mendasar antara teori kritis dengan teori-teori tradisional. Konsepsi tradisional tentang teori memandang teoritikus lepas dari subjek analisis. Dengan analogi ilmu pengatahuan alam, menjelaskan bahwa subjek dan objek harus benar-benar terpisah agar bisa berteori dengan selayaknya. Konsepsi tradisional teori menganggap sesuatu dapat dianggap teori ketika ia menjadi bebas nilai, dimana subjek menarik diri dari dunia yang sedang ia teliti dengan meninggalkan keyakinan, nilai-nilai, atau opini ideologis yang akan mengganggu penyelidikan. Sementara hal ini bertentangan dengan teori kritis yang melihat bahwa teori mutlak berkaitan dengan kehidupan sosial dan politik. Teori kritis menjelaskan tujuan-tujuan yang diajukan oleh teori tertentu. Konsep teori kritis mengakui bahwa ilmu pengetahuan secara tidak terelakkan terlibat dalam tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi yang membentuk kehidupan sosial dan politik dan oleh karena itu penekanan atau intervensi sangat mungkin dilakukan dalam pembentukannya.
• Dengan demikian terdapat sebuah hubungan sistematis antara struktur logis dari suatu pengetahuan dengan struktur pragmatis yang mungkin yang dijabarkan kerangka pikir ilmiah. Tidak dapat dinafikkan adanya kepentingan-kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam masyarakat.
• Tidak ada yang disebut sebagai ‘fakta’ tentang dunia. Nilai-nilai yang dipegang oleh seseorang atau sekelompok masyarakat akan mempengaruhi penafsirannya tentang dunia. Oleh sebab itu, teori kritis tidak mengakui adanya objektifitas ilmu. Habermas menyatakan bahwa ilmu memang dibangun dalam kerangka kepentingan objektivasi alam dan realitas dalam rangka eksploitasi, dan dari sini sesungguhnya muncul paradoks bahwa demi teraihnya teori murni, ‘kepentingan’ ditekan dalam rangka melayani ‘kepentingan’ untuk memandang dunia sebagai sesuatu yang independen dari ‘kepentingan.’
Epistimologis
• Teori kritis berupaya menunjukkan adanya bentuk ketidakadilan dan hegemoni yang terstruktur dan terbentuk dalam masyarakat. Jika dalam pandangan marxis lebih melihat adanya dominasi ekonomi dalam bentuk penguasaan sumber dan alat produksi, maka teori kritis lebih menekankan aspek budaya dan ideologi yang ada dibaliknya. Merujuk pada perkembangan teori kritis Gramscian, hegemoni dalam hal ini berbeda dengan dominasi dimana dominasi menggambarkan sebuah pola hubungan kekuasaan yang cenderung ditandai dengan paksaan dan ditopang oleh sarana-sarana militer. Hegemoni di sisi lain menggambarkan pola hubungan kekuasaan yang lebih mengandalkan legitimasi daripada paksaan. Hubungan kekuasaan yang hegemonis ditopang oleh legitimasi yaitu adanya penerimaan, kepatuhan dan dukungan oleh kelompok sosial yang tertindas terhadap sistem yang ada yang sebenarnya sangat eksploitatif. Teori ini mencoba untuk menggambarkan adanya “pemaksaan” sistematis dan persuasif yang dibentuk oleh pemilik kepentingan yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk ide dan pandangan manusia yang kemudian akan menentukan pola tindakan manusia tersebut yang kemudian akan dijadikan norma budaya sosial yang membentuk peradaban manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa hegemoni bekerja pada ranah ideologi dimana pihak yang berkuasa dapat memperoleh legitimasi dan pembenaran atas tindakannya.
• Dengan meletakkan asusmsi bahwa terdapat kepentingan yang dapat memanipulasi pengetahuan manusia, teori kritis melihat apa yang diungkapkan sebagai suatu “virtual reality” atau refeksi dari “false conciousness” yang melekat dalam diri masyarakat sosial sebagai hasil dari hegemoni ideologi-ideologi dominan.
• Teori kritis mencoba menyajikan sebuah konsep yang akan dijadikan pijakan evaluasi terhadap norma-norma sosial. Teori ini akan mengarah pada pembebasan manusia atas segala bentuk penindasan, yang dilakukan dalam dan atas nama rasionalitas modern.
Motodologis
• Teori kritis menjelaskan mengenai hakikat realitas sosial melalui refleksi yang luas tentang hakikat pengetahuan, dan interaksi sosial serta tendensi-tendensi politis, ekonomis dan sosio-kultural yang terjadi saat itu. Karena teori kritis menganggap masyarakat sendiri sebagai objek analisisnya dan karena teori tidak pernah berdiri sendiri dalam masyarakat, lingkup analisis teori kritis tentunya meliputi refleksi teori itu sendiri. Dengan kata lain suatu teori kritis haruslah menjadi teori yang reflektif dalam penerapannya dalam masyarakat.
• Dalam konsepsi teori kritis, suatu fenomena sosial harus diamati dalam konteks kesejarahan yang utuh atau dengan kata lain dengan tidak meninggalkan aspek-aspek historis yang tentu saja sangat berpengaruh dalam pembentukan suatu masyarakat. Teori kritis merumuskan penggalan historis yang komprehensif yang mancakup faktor-faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis dan gender ataupun latar belakang historis lainnya yang terkait dengan situasi yang dikaji saat ini.
• Teori kritis Habermas menekankan bahwa untuk meciptakan keadilan bagi masyarakat maka hubungan manusia seharusnya didasari atas komunikasi intersubjektif yang bebas, terbuka dan tidak ada tekanan, sehingga setiap manusia akan dengan bebas mengekspresikan dirinya tanpa adanya intervensi dari pihak lain. Dalam hal ini teori kritis mengakui adanya rasionalisasi sebagai komunikasi yang bebas dan terbuka atas argumentasi yang dimiliki.
Dimensi Advokasi
• Teori kritis bertujuan untuk memberikan pencerahan dalam diri masyarakat sebagai pelaku sosial sehingga mereka dapat “bergerak” untuk menentukan dan memperjuangkan “kepentingan sejati” mereka.
• Bersifat emasipatoris dengan menempatkan diri sebagai pelaku pembebasan dari berbagai bentuk dominasi dan hegemoni. Teori kritis berupaya untuk menyajikan kerangka sistematis untuk memperlihatkan pada masyarakat akan adanya hegemoni. Suatu hegemoni akan roboh ketika masyarakat menyadari akan adanya hegemoni, dan bentindak resisten terhadapnya dan dalam tahap yang lebih lanjut akan menjadikan teori counter-hegemony sebagai rujukan ideologis dalam aktifitas sosial mereka. Teori kritis menekankan bahwa agar tercipta perubahan, maka perlu untuk tidak hanya memenangkan peperangan ‘di lapangan’ tetapi juga dalam wilayah ide-ide. Dengan demikian perubahan ini juga mencakup seperangkat nilai-nilai dan terutama sejumlah konsep alternatif sebagai upaya untuk memikirkan dan menjelaskan ‘realitas’ sosial yang sedang berlangsung dan kemungkinan-kemungkinan alternatifnya.
Referensi :
Dedy Nur Hidayat, “Teori-Teori Kritis dan Teori-Teori Ilmiah.”
Jill Steans & Lloyd Pettiford, “Hubungan Internasional Perspektif dan Tema,” Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009. Bab 4.
Muhadi Sugino, “Teori Kritis dalam Hubungan Internasional,” dalam Asrudin, Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer, Graha Ilmu, 2009.
Scott Burchill.,dkk, Theories of International Relations. Edisi ketiga. New York: Palgrave MacMillan, 2005. Chapter 6.
Sindung Tjahyadi, “Teori Kritis Jurgen Habermas : Asumsi-Asumsi Dasar Menuju Metodologi Kritik Sosial.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar