Jumat, 14 September 2012

Teori Kritis – Marxisme


Sejarah ilmu pengetahuan telah mencatat dan menempatkan ilmu-ilmu sosial pada perdebatan panjang yang dialektis. Semakin kompleksnya hubungan antar-manusia berimplikasi pada semakin dinamisnya perkembangan teori-teori sosial. Di satu sisi ada teori – teori yang telah mapan –status quo, sehingga telah menjadi teori mainstream yang dipakai secara global, namun di sisi lain ada teori yang mencoba untuk melakukan serangkaian perubahan akan dinamika perspektif global.

Teori kritis dan Marxisme merupakan dua bangun pengetahuan yang berawal dari kepentingan dan cita-cita yang sama yaitu penegakan atas emansipasi manusia. Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa teori kritis merupakan kelanjutan dari pemikiran Marxis, akan tetapi tidak dapat dinafikkan pula adanya kritik yang dialamatkan teori kritis atas pemikiran Marx. Untuk itu pembahasan pada tulisan ini akan mencoba menguraikan bagaimana kedua teori tersebut dibangun berikut persamaan dan juga perbedaan yang menyertainya.

Marxisme berkembang pada pertengahan 1840-an dan merupakan sebuah perspektif yang berangkat dari pemikiran Karl Marx mengenai sejarah dan kapitalisme. Pemikiran ini berawal dengan melihat adanya ketimpangan dan kontradiksi yang nyata dalam sejarah manusia yang ditandai dengan perjuangan kelas. Kritik tersebut ditujukan Marx pada model produksi kapitalistik Adam Smith dan David Ricardo yang menurut Marx berjalan dengan sangat eksploitatif. Adapun dalam kerangka berfikir teorinya tentang sejarah perjuangan kelas yang bersifat dialektis-materil, Karl Marx ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh dua filsuf besar yaitu G.W.F. Hegel dan Ludwig Feurbach.

Sementara itu teori kritis pada awalnya merujuk pada sebuah tradisi pemikiran yang berkembang di sebuah institut penelitian di Universitas Frankfurt, tahun 1920an yang kemudian dikenal dengan mahzab Frankfurt atau Frankfurt School. Pemikiran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Georg Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund Freud dan terutama Karl Marx. Adapun pemikir utama pada masa itu antara lain Max Horkheimer dan Theodore Adorno. Pemikiran ini banyak mengalami perkembangan dan modivikasi sehingga muncul aliran-aliran baru yang membawa nama seperti Jurgen Habermas sebagai pemikir teori kritis kontemporer. Namun walaupun banyak terinspirasi dari pemikiran Marx, pada dasarnya terdapat perbedaan yang signifikan antara pemikiran teori kritis dengan Marxisme. Hal ini terutama dilihat dari bagaimana kedua teori tersebut dibangun dengan asumsi-asumsi utama yang mendukungnya. Menganalisis lebih jauh dua teori tersebut akan memperlihatkan sejumlah perbedaan ontologis yang tentunya menjadi landasan utama berdirinya setiap teori.

Dimensi Metateori

Hal utama yang patut digarisbawahi dalam pemikiran Marx adalah konsep mengenai dialektika yang dimaknai sebagai kerangka berpikir dan citra dunia. Dialektika yang merupakan warisan pemikiran Hegel menjadi sebuah kerangka berpikir yang menekankan pentingnya hubungan, proses, dinamika, konflik dan kontradiksi, yang lahir dari kerangka berpikir yang dinamis tentang dunia. Dunia diciptakan tidak dari struktur yang statis melainkan dalam struktur dinamis yang penuh dengan kontradiks dan pertentangan-pertentangan. Namun tidak seperti dialektika Hegelian, Marx melihat bahwa dialektika tidak berada dalam dunia ide, tetapi pada dunia meteril yang terbentuk karena adanya perbedaan terhadap akses sarana produksi oleh setiap individu. Dengan berdasar pada hal tersebut, Marx kemudian menarik garis dan menempatkan dialektikanya pada basis material.

Konsep dialektika-materialis Marxis yang meyakini bahwa kebutuhan material adalah hal utama yang harus dipenuhi setiap manusia untuk dapat bertahan hidup. Pandangan ini kemudian meletakkan kepemilikan atas sarana produksi menjadi hal yang mutlak bagi setiap manusia dalam rangka pemenuhan kebutuahan materialnya. Apa yang dilihat Marxis mengenai kepemilikan sarana produksi ini menjadi dasar munculnya pemikiran tentang perjuangan kelas. Bahwa kepemilikan atas sarana-sarana produksi hanya memunculkan pembagian kelas dimana ada pihak yang memiliki sarana produksi (modal dan teknologi) dan pihak yang memiliki faktor produksi kerja yaitu tenaga kerja.

Sejarah manusia dibentuk di atas berbagai macam penindasan dan perjuangan kelas yang mengurangi daya hidup dan membatasi kebebasan manusia. Manusia beraktifitas secara fisik dalam masyarakat berbasiskan kelas yang eksploitatif dimana setiap manusia telah dipaksa untuk bekerja demi kekayaan manusia lain. Perselisihan antar kelas telah mendominasi konflik dalam sejarah dan menjadi mesin penggerak perubahan sosial. Dalam hal ini Burchill dan Linklater menjelaskan tiga konsep utama dalam pemikiran Marx yaitu, alienasi menggambarkan sebuah kondisi dimana umat manusia berada dalam genggaman kekuasaan struktur dan kekuatan yang mereka ciptakan sendiri. Eksploitasi merujuk pada sebuah kondisi di mana suatu kelompok tertentu secara langsung mengontrol dan mengambil keuntungan dari daya kerja kelompok lainnya. Keterasingan (estrangement), menjelaskan akan sebuah dunia yang penuh kecurigaan dan permusuhan antara kelompok-kelompok nasional dan kultural yang berbeda-beda (Burchill, 2005 : 164).

Marx dan Engels meyakini bahwa akibat yang ditimbulkan oleh produksi terhadap struktur masyarakat dan pergeseran pola-pola dalam sejarah telah banyak diabaikan dalam ajaran teori-teori politik sebelumnya. Untuk itu penindasan di sini tentunya dialamatkan pada penindasan material yang menekankan aspek-aspek ekonomi. Marx melihat dasar perekonomian (model produksi) sebagai substruktur dan pranata sosial lainnya (agama, adat, pemerintahan, hukum, dll) sebagai suprastruktur yang berfungsi untuk melindungi kepentingan kelas yang menguasai kekuatan produksi. Ekonomi sebagai aspek yang utama, sehingga institusi politik, hukum, sistem kepercayaan dan bahkan bentuk-bentuk keluarga menyesuaikan diri dengan tuntutan dasar sistem ekonomi. Jadi, ekonomi menentukan atau mnyebabkan bagaimana sistem sosial lainnya berfungsi dan berkembang.

Dalam mengamati pola produksi ekonomi itu sendiri, Marxis berkeyakinan bahwa ekspansi kapitalisme telah mengahapus pemisahan klasik antara negara-bangsa yang berdaulat dan mengganti sistem negara internasional dengan masyarakat kapitalis global dimana konflik utamanya terpusat pada dua kelas sosial yang saling bertentangan yaitu kaum borjuis dan kaum proletar. Model produksi kapitalistik dilihat Marx telah mereduksi peran kelas pekerja (buruh). Kesenjangan yang terbuka lebar dimana buruh berhadapan dengan kekuatan para pemilih modal yang semakin menambah keterpurukan mereka dalam jurang eksploitasi. Hal ini diungkapkan Marx dalam tulisannya, “Pekerja tidak memproduksi untuk dirinya sendiri namun harus memproduksi nilai lebih. Pekerja yang produktif hanyalah pekerja yang memproduksi nilai lebih (surplus value) untuk para pemilik modal.” Cerminan lain muncul dari tulisan Marx dan Engels dalam The Communist Manifesto yang menekankan bahwa “Kaum borjuis melalui ekspliotasi pasar-global telah menciptakan sebuah karakter kosmopolitan atas konsumsi dan produksi di tiap negara. Hal ini memaksa semua bangsa, dengan pembungkaman, untuk menerapkan cara-cara produksi borjuis. Singkatnya kaum borjuis menciptakan sebuah dunia di balik bayangannya sendiri” (Burchill, 2005 : 167).

Jika dalam pandangan Marxis lebih melihat adanya dominasi ekonomi dalam bentuk penguasaan sumber dan alat produksi, maka teori kritis lebih menekankan aspek budaya dan ideologi yang ada dibaliknya. Teori ktiris mencoba untuk merekonstruksi pandangan Marx yang dinilai terlalu memberi tekanan pada bentuk-bentuk produksi (mode of production) dan mengabaikan aspek-aspek lain di luar kekuatan ekonomi. Pendangan ini terlihat dalam karya-karya bidang sosiologi terutama tulisan Giddens yang menyatakan bahwa teori kritis harus mengalamatkan perhatiannya kepada logika yang terpisah namun saling berhubungan antara state-building, geo-politik, pembangunan kapitalis dan industrialisasi. Senada dengan pemikiran tersebut, Habermas mencoba untuk memperbaiki misi emansipatif yang diperjuangkan Marxisme. Menurut Habermas kekeliruan utama yang dilakukan oleh para pemikir Marxis adalah dengan mengabaikan wilayah independen dari pembelajaran moral-praktis di mana umat manusia mengembangkan kemampuan etika dalam menciptakan tatanan sosial yang menuntut persetujuan agen-agen perwakilan manusia (Burchill, 2005 : 179). Pandangan ini menekankan pada totalitas hubungan sosial mengenai bagaimana kekuasaan menyusun tatanan dunia yang berlaku.

Dominasi akan pengetahuan menjadi titik tolak utama dalam teori kritis. Teori kritis berupaya menunjukkan adanya bentuk ketidakadilan dan hegemoni yang terstruktur dan terbentuk dalam masyarakat. Merujuk pada perkembangan teori kritis Gramscian, hegemoni dalam hal ini berbeda dengan dominasi dimana dominasi menggambarkan sebuah pola hubungan kekuasaan yang cenderung ditandai dengan paksaan dan ditopang oleh sarana-sarana militer. Hegemoni di sisi lain menggambarkan pola hubungan kekuasaan yang lebih mengandalkan legitimasi daripada paksaan (Sugiono, 2009 : 163). Hubungan kekuasaan yang hegemonis ditopang oleh legitimasi yaitu adanya penerimaan, kepatuhan dan dukungan oleh kelompok sosial yang tertindas terhadap sistem yang ada yang sebenarnya sangat eksploitatif.

Robert Cox, salah seorang pemikir teori kritis, mengemukakan bahwa teori selalu untuk seseorang dan untuk beberapa kepentingan (Griffiths 2001 : 155). Sejalan dengan pendapat tersebut, Habermas menyatakan bahwa terdapat kepentingan-kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam masyarakat. Dalil bahwa setiap struktur logis ilmu berkaitan erat dengan fungsi pragmatis dari pengetahuan ilmiah merupakan pijakan penting dalam bangunan teori kritis yang dikemukakan Habermas (Tjahyadi : 184-185)

Apa yang dikemukakan oleh Cox dan Habermas ini kemudian menjadi asumsi utama yang dikembangkan dalam teori kritis adalah bahwa terdapat kepentingan politis yang dapat memanipulasi pengetahuan manusia. Teori kritis melihat apa yang diungkapkan sebagai suatu “virtual reality” atau refeksi dari “false conciousness” yang melekat dalam diri masyarakat sosial sebagai hasil dari hegemoni ideologi-ideologi dominan (Nur Hidayat : 2-3). Akibatnya manusia tidak lagi menjadi makhluk yang independen dalam menentukan hidup mereka melainkan terkungkung dalam kerangka hegemoni atas pemikiran mereka. Untuk itu teori kritis kemudian mencoba menyajikan sebuah konsep yang akan dijadikan pijakan evaluasi terhadap norma-norma sosial. Teori ini akan mengarah pada pembebasan manusia atas segala bentuk penindasan, yang dilakukan dalam dan atas nama rasionalitas modern.

Penindasan dalam teori kritis maupun Marxis mempunyai arti yang relatif sama yaitu ketika setiap manusia tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri. Namun yang perlu digarisbawahi adalah penindasan di sini lebih ditekankan Marxis pada eksploitasi ekonomi ketika manusia tidak dapat mengakses sumber produksi. Sementara itu penindasan dialamatkan teori kritis pada serangkaian kegiatan yang menghegemoni pemikiran manusia. Teori kritis mencoba untuk menggambarkan adanya “pemaksaan” sistematis dan persuasif yang dibentuk oleh pemilik kepentingan yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk ide dan pandangan manusia yang kemudian akan menentukan pola tindakan manusia tersebut yang kemudian akan dijadikan norma budaya sosial yang membentuk peradaban manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa hegemoni bekerja pada ranah ideologi dimana pihak yang berkuasa dapat memperoleh legitimasi dan pembenaran atas tindakannya.

Dalam kajian politik internasional, pada dasarnya kedua teori ini, Marxis dan teori kritis, melihat negara sebagai struktur yang tidak otonom. Namun tentunya Marx menekanankan bahwa negara digerakkan oleh kepentingan kelas yang berkuasa (borjuis). Marxisme menganggap bahwa negara merupakan suatu refleksi atas perjuangan kelas yang kemudian dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk memapankan kekuasaannya serta menjalankan penindasan secara sistematis terhadap kelas pekerja melalui lembaga-lembaga negara. Sementara itu, dengan menekankan pada aspek sosialnya, para pemikir teori kritis melihat negara sebagai dominasi kekuasaan atas adanya tendensi/kepentingan politik dari pengetahuan atau ideologi yang berkuasa. Struktur-struktur, termasuk negara, telah dikosntruksi secara sosial. Bertentangan dengan dogma kaum realis bahwa negara adalah negara, Cox memandang negara dan fungsi, peran serta tanggungjawabnya telah ditentukan secara sosial dan historis (Burchill, 2005 : 215).

Selanjutnya, sejalan dengan pandangannya terhadap negara, tatanan dunia yang juga menjadi poin analisis utama, juga tidak dilihat sebagai unit yang independen baik dalam Marxisme maupun teori kritis. Marxisme manganggap bahwa struktur internasional, tidak dapat dipungkiri, juga merupakan cerminan dari bentuk eksploitasi dan penindasan oleh pada pemilik modal. Globalisasi dengan kapitalismenya tidak lebih dari sekedar bentuk imperialisme yang dilakukan oleh negara-negara maju melalui sarana global seperti lembaga keuangan dan perdagangan internasional, perkembangan teknologi dan doktrin pasar bebas. Adapun pemikiran lebih lanjut mengenai hal tersebut dilejalaskan oleh Immanuel Wallerstein dalam World System Theory. Teori yang masih menjadi turunan Marxisme ini, menjelaskan dunia dengan membagi negara-negara sesuai dengan perannya secara ekonomis, yaitu negara inti (core) dan negara pinggiran (periphery). Wallerstein melihat bahwa sistem kapitalisme global telah menempatkan negara pinggiran untuk melayani kepentingan ekonomi negara-negara inti. Hubungan ini menjadi sangat eksploitatif sehingga negara-negara pinggitan terpuruk dalam ketergantungan dan tidak mampu memperjuangkan nasibnya sendiri.

Di sisi lain teori kriris menjelaskan ketidak-independen-an sistem internasional dalam kerangka sosial. Hal ini tercermin dalam pernyataan Gramscian bahwa “tatanan dunia itu...didasarkan pada hubungan sosial” (Burchill, 2005 : 215). Hegemoni pada kenyataannya telah menyamarkan struktur-struktur global yaitu ketika suatu bentuk dominasi yang didasarkan atas suatu kepentingan menunjukkan dirinya sebagai kepentingan universal, dan di sisi lain pihak yang jauh dari kekuasaan tidak menyadari akan adanya eksploitasi dan pemaksaan pengetahuan tersebut.

Dimensi Advokasi

Teori kritis menyandarkan advokasinya untuk memberikan pencerahan dalam diri masyarakat sebagai pelaku sosial sehingga mereka dapat “bergerak” untuk menentukan dan memperjuangkan “kepentingan sejati” mereka. Teori kritis berupaya untuk menyajikan kerangka sistematis untuk memperlihatkan pada masyarakat akan adanya hegemoni. Suatu hegemoni akan roboh ketika masyarakat menyadari akan adanya hegemoni, dan bentindak resisten terhadapnya dan dalam tahap yang lebih lanjut akan menjadikan teori counter-hegemony sebagai rujukan ideologis dalam aktifitas sosial mereka. Teori kritis menekankan bahwa agar tercipta perubahan, maka perlu untuk tidak hanya memenangkan peperangan ‘di lapangan’ tetapi juga dalam wilayah ide-ide. Dengan demikian perubahan ini juga mencakup seperangkat nilai-nilai dan terutama sejumlah konsep alternatif sebagai upaya untuk memikirkan dan menjelaskan ‘realitas’ sosial yang sedang berlangsung dan kemungkinan-kemungkinan alternatifnya.

Sementara itu dengan berdasar pada landasan materialistisnya advokasi Marxis lebih menekankan pada perjuangan kesetaraan kelas. Upaya transformasi atas masyarakat internasional untuk menghilangkan alienasi, eksploitasi dan keterasingan merupakan cita-cita politik yang mendasar dalam tradisi pemikiran Marxis. Untuk itu sistem kapitalisme yang dilihat sebagai induk dari penindasan dan eksploitasi manusia sebagai makhluk yang mampu melakukan produksi, harus ditumbangkan. Kapitalisme merupakan sebuah sistem yang terbentuk dari struktur yang menghalangi manusia dari sumber-sumber produksi untuk melakukan kerja. Dengan demikian Marxis meyakini suatu kesimpulan bahwa revolusi politik akan menggulingkan tatanan kapitalis dan menciptakan sebuah masyarakat sosialis dimana prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan akan terwujud untuk meningkatkan derajat kehidupan manusia di seluruh dunia. 

Referensi :

Burchill, Scott, dkk, Theories of International Relations. Edisi ketiga. New York: Palgrave MacMillan, 2005. Chapter 6.
Griffiths, Martin, “Lima Pulih Pemikir Studi Hubungan Internasional,” Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Nur Hidayat, Dedy, “Teori-Teori Kritis dan Teori-Teori Ilmiah.”
Steand, Jill & Lloyd Pettiford, “Hubungan Internasional Perspektif dan Tema,” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Sugiono, Muhadi, “Teori Kritis dalam Hubungan Internasional,” dalam Asrudin, Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer, Yogyakrta : Graha Ilmu, 2009.
Tjahjadi, Sindung, “Teori Kritis Jurgen Habermas : Asumsi-Asumsi Dasar Menuju Metodologi Kritik Sosial.”
Woodfin, Rupert dan Oscar Zarate, Mengenal Marxisme, Yogyakarta : Resist Book.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar