Konsumerisme pada dasarnya lebih seiring dipahami sebagai gerakan sosial yang berupaya memberikan perlindungan kepada konsumen di dalam pusaran kepentingan bisnis dan mempromosikan hak-hak konsumen. Akan tetapi walaupun banyak penulis yang mendifinisikan konsumerisme sebagai gerakan sosial, banyak juga yang kemudian lebih menekankan bahwa konsumerisme merupakan sumber dari kekerasan struktural. Hal inilah yang coba dikemukakan oleh Sue McGregor, bahwa sebenarnya dibalik etalase toko yang menyediakan berbagai macam produk, terdapat suatu bentuk kekerasan yang telah di normalisasi oleh struktur yang ada.
Jika menghubungkan antara konsumerisme dengan kekerasan struktural tentunya yang akan menjadi titik analisis kita adalah proses ekonomi yang dilaluli oleh suatu produk. Hal ini ini meliputi proses produksi, distribusi dan perdagangan produk, hingga sampainya produk tersebut ke tangan konsumen. Untuk itu kekerasan struktural itu sendiri pada dasarnya terimplementasi pada tidak terpenuhinya hak-hak pekerja, asal dan transportasi produk, jenis hubungan perdagangan, bahan kimia yang digunakan dalam produksi dan pengolahan, dan efek sosial dan lingkungan lainnya dari produk pada manusia, hewan dan lingkungan alam. Kesemua ini menciptakan lingkaran pola konsumsi yang diskriminatif, tidak hanya bagi manusia tetapi juga bagi kelestarian lingkungan. Nike misalnya, menghasilkan $ 9 miliar dari penjualan. Setelah membayar tagihan, Nike memiliki keuntungan $ 796 juta. Lebih dari setengah juta orang di dunia kerja untuk Nike dan mereka mendapat, rata-rata, US $ 800,00 per tahun (total $ 40 juta). Di sis lain The Fisher Family, pendiri dan eksekutif dari Gap, Banana Republic, dan Old Navy, membeli 230.000 hektar lahan hutan di Mendocino County, California, dan telah menebang redwoods, menghancurkan perikanan salmon, memusnahkan habitat satwa liar yang berharga, dan mencemari air minum masyarakat.
Adapun yang kemudian menjadi masalah utama ketika konsumerisme telah menjadi budaya tidak tidak dapat terbantahkan dalam masyarakat modern. Seseorang dianggap modern ketika dia telah mampu membeli barang yang sedang up to date dan sisi lain mereka yang tidak mengikuti pola konsumsi tersebut akan dikucilkan dalam pergaulan masyarakat. Di samping itu semakin jauhnya jarak antara produsen dan konsumen juga semakin meminimkan pengetahuan konsumen terhadap proses produksi yang berlangsung. Akibatnya konsumen hanya tahu membeli barang tanpa melihat bagaimana proses yang ada dibaliknya.
Hal ini kemudian diperparah ketika orang yang telah terjebak dalam lingkaran konsumerisme pada dasarnya tidak memiliki sensitivitas terhadap lingkungan yang ada disekitarnya. Persons living in a consumer society live a comfortable life at the expense of impoverished labors and fragile ecosystems in other countries. Too often, they conclude that they must arm themselves to protect their commodities and the ongoing access to them. This position justifies war an violence (Cejka, 2003). Pendapat ini juga dikemukakan oleh Sue McGregor dalam tilisannya Cosumerism and Peace, yang melihat skepticism dan whateverism sebagai model berpikir manusia saat ini. Mereka tidak peduli dari mana barang tersebut berasal dan proses yang dilaluinya, selama kebutuhan konsumsi mereka dapat terpenuhi, maka whatever menjadi ekspresi atas tindakan pasif mereka.
Terciptanya konsumerisme itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari pengaruh struktur internasional. Liberalisasi perdagangan, globalisasi dan industrialisasi menjadi faktor pendorong utama meningkatnya konsumsi masyarakat. Liberalisasi perdagangan semakin membuka pasar tanpa hambatan yang juga semakin mengintegrasikan konsumen. Sejalan dengan hal tersebut, globalisasi membentuk budaya masyarakat yang semakin konsumtif. Semakin kecilnya hambatan dan “distance” dalam interaksi manusia juga semakin memperbesar kemungkinan terjadinya pertukaran nilai dan ide, termasuk dalam hal budaya dan fashion. Sementara di sisi lain model industrialisasi telah membawa konsumerisme sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sangat tergantung dari penjualan produk baru yang berlangsung secara terus-menerus. Sehingga untuk tetap menggerakkan roda perekonomian yang harus dilakukan adalah dengan terus membeli barang baru dan membuang barang lama.
Pola konsumsi manusia, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bertanggung jawab terhadap kekerasan struktural yang terjadi di belahan dunia yang lain. Saya sepakat dengan Sue McGregor bahwa konsumen hingga saat ini menutup mata dengan fakta bahwa pakaian yang mereka kenakan telah dibuat melalui proses yang sangat diskriminatif. Sebagian besar konsumen, terutama di negara-negara maju, mengetahui bahwa barang yang mereka konsumsi dibuat di salah satu negara miskin dengan tingkat pendapatan buruh yang sangat rendah dan pencemaran terhadap lingkungan yang sangat parah. Akan tetapi mereka lebih memilih untuk tidak peduli dan terus membeli barang.
Budaya modern telah menjadi pendukung utama konsumerisme. Orang tidak lagi membeli berdasarkan apa yang mereka butuhkan, akan tetapi mereka membeli suatu barang karena barang yang sama sedang banyak digunakan dalam dalam lingkup pergaulan mereka. Tidak ada lagi batas antara needs dan desire. The definition of what constitutes a "necessity" is changing, and the distinctions between luxuries and necessities are blurring. Kehidupan modern telah membuat seseorang mendefinisi kembali apa kebutuhan/needs mereka. Kebutuhan tidak lagi diartikan sebagai barang yang memang mereka perlukan dalam kelangsungan hidup mereka, akan tetapi lebih mengarah pada kebutuhan akan penerimaan dalam masyarakat. Sehingga implikasinya orang-orang kemudian meletakkan kebutuhan yang seberanrnya luxuries sebagai kebutuhan dasar mereka.
Karena membeli barang tidak lagi didasarkan atas needs, maka tingkat konsumsi seseorang akan bertambah semakin besar. Terlebih jika mereka membeli barang bedasarkan trend yang ada. Trend budaya yang sedang digandrungi akan mendorong seseorang untuk membeli barang yang sebetulnya tidak mereka perlukan, dan hal ini akan terus berulang.
Pembelian barang secara terus-menerus inilah yang kemudian kita kenal dengan konsumerisme. Jika konsumerisme merupakan sumber dari berbagai bentuk kekerasan struktural, maka tentunya kita sebagai konsumen yang terus membeli barang secara langsung bertanggung jawab terhadap terciptanya kekerasan struktural tersebut. Untuk itu sebaiknya akan lebih bijak jika kita berpikir lagi dalam membeli. Metode yang dapat kita lakukan adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini kepada diri kita sendiri.
- Apakah saya benar-benar memerlukannya?
- Berapa banyak yang sudah saya punya?
- Seberapa sering saya akan memakainya?
- Akan habis berapa lama?
- Bisakah saya meminjam saja dari teman atau keluarga?
- Bisakah saya melakukannya tanpa barang ini?
- Akankah saya bisa membersihkan dan/atau merakitnya sendiri?
- Akankah saya bisa memperbaikinya?
- Apakah barang ini berkualitas baik?
- Bagaimana dengan harga? Apakah ini barang sekali pakai?
- Apakah barang ini ramah lingkungan?
- Dapatkah didaur-ulang?
- Apakah barang ini bisa diganti dengan barang lain yang sudah saya miliki?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar