Ketidakadilan dalam distribusi hasil pengolahan sumber daya alam telah menjadi masalah hampir di semua negara, terutama negara berkembang dan negara-negara yang masih terbelakang secara ekonomi. Dalam banyak kasus kita jumpai bahwa sumber daya alam yang seharusnya digunakan demi kesejahteraan rakyat pada dasarnya hanya digunakan untuk lebih memperkaya sekelompok orang saja. Bahkan tidak jarang negara yang kaya akan sumber daya alam justru masih terlibat dalam konflik bersenjata dimana masyarakatnya hidup jauh dari rasa aman. Hal ini tentunya menjadi ironi, dimana kekayaan alam sapatutnya menjadi pendukung penciptaan kesejahteraan masyarakat.
Philippe Lebillon merupakan salah satu peneliti yang mencoba menguraikan keterkaitan antara eksploitasi sumber daya alam dan konflik bersenjata. Dalam tulisannya The Political Ecology of War and Resource Exploitation, Lebillon menjelaskan bahwa negara-negara yang mempunyai kekayaan alam, akan tetapi belum mempunyai kemampuan dalam mengolahnya, pada kenyataannya masih terlibat dalam konflik bersenjata, baik itu di dalam negaranya sendiri ataupun yang seringkali juga melibatkan negara yang berbatasan secara langsung. Lebillon mengambil contoh fenomena blood diamond yang terjadi di Sierra Leone, dimana negara yang kaya akan berlian tersebut masih terlibat konflik bersenjata antara pihak-pihak yang saling memperebutkan kekuasaan dan keuntungan materil yang sebesar-besarnya. Berlian di Sierra Leone tidak lagi dilihat sebagai potensi alam yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, akan tetapi lebih kepada penyebab dan sumber konflik yang ada.
Lebillon menggunakan konsep conflict resources untuk menjelaskan bagaimana melihat konflik dengan latar belakang perebutan sumber daya alam yang terjadi di banyak negara yang masih underdeveloped. Titik penekanan Lebillon adalah bahwa terdapat pengaruh dari pola ekonomi politik global, geopolitik dan ketersediaan sumber daya alam dalam terciptanya perang dan berbagai bentuk kekerasan langsung maupun struktural. Sistem ekonomi politik dunia yang ada saat ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap terjadinya konflik. Kapitalisme dan mekanisme liberalisasi perdagangan yang tidak adil pada kenyataannya telah kembali melanggengkan perbudakan dan kolonialisme. Ketika negara-negara maju melihat negara-negara miskin tidak lebih sebagai modal dan komoditas dalam memenuhi kepentingan ekonomi politik mereka, apa pun cara yang ditempuh.
Rezim pemerintahan yang otoriter dan tidak memihak rakyat juga kemudian menjadi pendukung eskalasi konflik. Pemerintah yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat, justru sibuk memperkaya diri mereka masing. Kekayaan alam hanya dikuasai oleh sekelompok elit yang berada di kursi kekuasaan, yang juga dengan sistem liberalisasi dan privatisasi, memberikan kewenangan yang sangat besar pada pemilik modal dan kelompok bisnis dalam eksplorasi sumber daya alam yang sebesar-besarnya. Dampaknya kemudian adalah berbagai bentuk kekerasan dialami oleh masyarakat terutama dalam hal akses mereka terhadap kehidupan yang lebih layak. Konflik atas eksploitasi minyak di Niger Delta misalnya, yang hingga saat ini masih mengalami masalah terkait tumpahan minyak dan pembakaran, kurangnya lapangan kerja dan pelayanan publik, pemindahan paksa, kebakaran dan bahaya ledakan, represi brutal dan pembunuhan ekstra-yudisial. Dalam hal ini, kekerasan baik fisik ataupun struktural, telah banyak terjadi dalam eksploitasi sumber daya dalam bentuk perampasan sumber daya, manipulasi harga, kerja paksa atau perpindahan penduduk, yang secara umum berakar dari sistem ekonomi kapitalisme yang melihat hubungan manusia hanya berlandaskan pada kepentingan materil semata.
Pada kenyataannya sistem ekonomi politik dunia yang dibangun saat ini memang dirancang untuk lebih menguntungkan negara-negara maju dan kelompok pemilik modal. Liberalisasi pasar dan kekuataan modal pada kenyataannya telah menempatkan negara-negara pinggiran (periphery) dalam situasi yang tidak siap dalam kompetisi sehingga bagi mereka yang tidak mampu bertahan. Liberalisasi perdagangan juga memberikan pasar serta peluang yang semakin ekspansif. Melalui proses globalisasi yang membentuk dunia bordeless maka kesempatan dalam akses ekonomi semakin besar. Namun, sejatinya kesempatan ini hanya bisa dimanfaatkan secara penuh oleh negara maju. Pada kenyataannya, banyak negara dunia ketiga yang tidak memiliki kompetensi ekonomi, teknologi, maupun sumber daya manusia untuk bersaing secara fair. Terlebih lagi negara-negara ini tidak didukung oleh sistem politik yang stabil dan bersih. Rezim pemerintahan yang korup, otoriter, konflik antar suku yang kemudian diperparah dengan hadirnya korporasi global menjadikan kesejahteraan masyarakat tidak pernah dipenuhi secara optimal.
Di tengah-tengah kompleksitas kepentingan ekonomi-politik tersebut, konflik dan kekerasan struktural seringkali muncul sebagai akibat dari bertemunya kepentingan-kepentingan ekonomi-politik dalam level yang berbeda. Masyarakat yang berada pada level atas cenderung bersifat lebih eksploitatif tentunya dengan sumber daya modal yang dimiliki. Sementara pada level bawah, masyarakat tidak mempunyai kekuatan untuk mengolah sumber daya alam sehingga secara sturtural menjadi objek kekerasan. Adapun level aktor dan kepentingan ini menurut saya dapat dibagi kedalam tiga tipologi kekerasan struktural.
Pertama, perebutan sumber daya alam antara kelompok masyarakat asal dengan kelompok masyarakat yang pendatang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sumber daya alam seperti barang tambang, lahan subur, dan hutan menjadi barang rebutan bagi siapapun untuk datang, mengeksplorasi, dan mengeksploitasi. Dalam banyak kasus di negara berkembang seperti Indonesia, pengusaha dan masyarakat pendatang biasanya mendapat izin ekplorasi skala kecil dan menengah atas izin pemerintah setempat. Pendatang ini biasanya memiliki peralatan, sumber daya, modal, hingga jaringan bisnis yang sudah lebih siap dibanding masyarakat lokal yang biasanya sama sekali belum memiliki skill, modal, maupun jaringan apapun soal “sumber daya alam” yang mereka miliki. Pemerintah daerah pun jarang sekali yang menfasilitasi rakyatnya untuk mendapatkan akses dan kemampuan yang sama dalam mengolah sumber daya alamnya. Akhirnya warga lokal biasanya tergerus dan kalah bersaing dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka. Hasilnya, masyarakat pendatang cenderung “lebih kaya” dibanding masyarakat lokal. Kesenjangan struktural akhirnya terjadi antar kelompok masyarakat. Kondisi inilah menjadi salah satu sebab pecahnya konflik-konflik pertambangan maupun konflik-konflik agraria. Di Indonesia, kasus-kasus tambang di Kalimantan dan Sulawesi misalnya menjadi bukti atas persaingan antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang.
Selain konflik dan kekerasan yang terjadi antara masyarakat lokal dan pendatang, eksploitasi SDA dalam sistem ekonomi-kapitalis melahirkan tipologi kedua yakni kekerasan struktural yang terjadi akibat bertemunya kepentingan kapitalistik negara dengan kepentingan survival dari warga lokal yang merasa bahwa negara merampas hak-hak ekonomi dan ruang hidup mereka. Di Indonesia kasus-kasus seperti ini biasanya menyeruak menjadi konflik agrarian antara kelompok masyarakat asli dengan perusahan-perusahaan negara seperti PTPN. Di Sulawesi Selatan misalnya, pernah terjadi konflik agrarian antara Serikat Petani Polongbangkeng dengan PTPN IV yang berencana menjadikan lahan masyarakat menjadi areal perkebunan gula nasional. Kasus-kasus alih fungsi hutan juga kerap terjadi antara kelompok masyarakat adat dan pemerintah.
Ketika konflik seperti ini terjadi, negara biasanya menggunakan aparatus kekerasannya untuk menghadapi perlawanan masyarakat. Negara merasa memiliki hak untuk mengelola sumberdaya alam karena memiliki “kewajiban” ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan meningkatkan pemasukan melalui komsumsi domestik dan perdagangan internasional. Kebutuhan pasar yang terinternalisasi pada kekuasaan negara akhirnya mewujud pada bentuk kekerasan pada warganya. Sementara disisi lain, masyarakat lokal yang bertahan biasanya melawan bukan hanya karena sebab ekonomi (kehilangan mata pencaharian) namun juga menyangkut ruang kebudayaan, sejarah, dan kearifan lokal mereka.
Ketiga, globalisasi ekonomi juga menciptakan ruang ekonomi yang leluasa dimasuki oleh korporasi-korporasi global. Kebutuhan akan bahan baku, tenaga kerja murah, efisiensi produksi, dan ekspansi kapital membuat negara-negara berkembang menjadi tujuan industrialisasi dan penyedia bahan baku atau setengah jadi. Untuk masuk ke sebuah wilayah, korporasi menggunakan berbagai modus, mulai dari cara halus seperti “structural adjustment program” yang didukung oleh lembaga-lembaga donor melalui tindakan-tindakan simbiosis mutualistik-koruptif antara korporasi dengan pemerintah hingga melakukan tindakan-tindakan represif (dengan bantuan apparatus negara) kepada masyarakat lokal yang mempertahankan habitat hidupnya. Tipologi ketiga ini merupakan bentuk mutakhir yang memperhadapkan masyarakat dengan kekuasaan negara dan kekuatan kapital korporasi. Gerakan perlawanan masyarakat adat Papua dengan Freeport dan kasus PT. London Sumatera dengan masyarakat adat di Bulukumba, Sulawesi Selatan menjadi potret jelas dari bagaimana masyarakat sipil vis a vis dengan kekuatan kapitalisme dan negara.
Sejalan dengan hal itu, semakin terkoneksinya dunia serta liberalisasi perdagangan juga menimbulkan implikasi semakin luasnya model kekerasan yang terjadi. Demi mendapatkan materi yang sebesar-besarnya manusia memanfaatkan globalisasi sebagai sarana untuk mendukung terciptanya berbagai bentuk kekerasan struktural. Contoh konkrit yang dapat kita lihat adalah war economics. Mark Duffied dalam tulisannya War as A Network Enterprise, The New Security Terrain and its Implications, menjelaskan bahwa war economics telah menjadi fokus bahasan dalam berbagai penciptaan kekerasan. Pasar dan perdagangan senjata global secara illegal, praktek pencucian uang dan sindikat kriminal lainnya menunjukkan bahwa terdapat benyak celah dalam sistem ekonomi internasional yang kemudian berdampak pada terciptanya kekerasan struktural di berbagai wilayah. Bahkan perang dan konflik sendiri telah menjadi bentuk komoditas, dimana telah muncul organisasi yang menyediakan jasa untuk menciptakan perang. Munculnya private military company secara langsung telah berkontribusi dalam konflik yang terjadi di berbagai negara yang didorong oleh motivasi penguasaan atas sumber daya alam.
Sistem ekonomi-politik kapitalisme saat ini telah menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh materi sebesar-besarnya. Secara historis, kita bisa melihat bahwa pasca krisis kapitalisme di Eropa dan Amerika selalu diikuti oleh perang dan invasi-invasi militer. Perang Dunia I dan II juga invasi-invasi yang dilakukan oleh AS ke negara-negara Timur Tengah selalu didahului oleh kondisi krisis kapitalisme. Krisis selalu membutuhkan supply baru untuk menghidupi urat nadi kapitalisme. Disini, konflik dan perang sengaja diciptakan untuk terutama di negara-negara yang kaya akan sumber daya alam. Dengan menciptakan konflik maka akan memperkecil cost dalam eksploitasi sumber daya alam yang tentunya akan semakin menyengsarakan masyarakat. Situasi konflik secara langsung akan meminimalisir tanggung jawab para pelaku bisnis terhadap penciptaan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan yang tentunya akan lebih melipatgandakan keuntungan mereka. Maka tidak mengherankan kemudian jika dalam banyak industri di negara-negara berkembang masalah yang dihadapi oleh masyarakat di samping konflik bersenjata adalah, kemiskinan dan kerusakan lingkungan.
Menjadi fenomena ironis ketika kita melihat negara yang kaya akan sumber daya alam akan tetapi justru mensejahterakan dan memperkaya manusia di belahan bumi yang lain. Di sisi lain negara dengan limpahan sumber daya alam tersebut masih harus berjuang dalam konflik bahkan dengan saudara mereka sendiri. Pola interaksi manusia telah lebih didasarkan atas kalkulasi untung rugi. Ketika hubungan manusia hanya dilandasakan keuntungan materil semata, akan tidak mengherankan kemudian jika banyak orang yang telah mapan dalam posisi mereka akan memilih untuk semakin menutup mata terhadap berbagai kekerasan struktural yang ada, dimana mereka pada dasarnya mereka bertanggung jawab atas penciptaan kekerasan tersebut.
Referensi
Mark Duffield, War As A Network Enterprise, The New Security Terrain and its Implications, Published in Cultural Values: The Journal for Cultural Research, Jan-April 2002, 6 (1&2): 153-166.
Philippe Lebillon, The Political Ecology of War and Resource Exploitation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar